Pernikahan Kedua: Tantangan dan Penyesuaian Diri

Suatu hari saya kedatangan seorang wanita cantik berusia 30 tahun. Ia hadir bersama pasangannya untuk mengkonsultasikan persiapan pernikahan mereka. Lena (bukan nama sebenarnya) adalah seorang janda sekaligus ibu bekerja dengan satu anak. Pekerjaannya sebagai salah seorang staf marketing di bidang periklanan terkesan kuat pada diri Lena yang ramah dan energik.

“Ketika pernikahan pertama gagal, tentunya banyak yang dapat dipelajari dari pengalaman tersebut” ujar Lena di awal sesi konseling kami. Lalu ia melanjutkan:

“Saya menyadari bahwa pernikahan saya sebelumnya penuh konflik karena saya dan mantan suami tidak mampu mengkomunikasikan keinginan masing-masing. Mungkin waktu pacaran kami kurang membahas hal-hal penting. Alhasil tiga tahun pertama penuh cekcok sampai saya memutuskan pergi dari rumah dan bercerai. Saya sekarang lebih siap dengan pernikahan kali ini karena saya dan Doddy sudah buka-bukaan sampai hal yang sensitif”.

Sementara pasangan Lena, Doddy (bukan nama sebenarnya), mengangguk-angguk memberikan penegasan terhadap ucapan Lena. Doddy pun pernah menikah sebelumnya. Pria yang berprofesi sebagai akuntan di salah satu perusahaan perbankan asing ini juga telah yakin bahwa Lena adalah sosok calon isteri yang tepat baginya.

“Pekerjaan saya tidak dimengerti oleh mantan isteri saya. Namanya juga kerja di bidang keuangan pasti sering lembur dan harus pergi ke kantor cabang untuk melakukan audit. Isteri saya yang dulu sering marah dan menuduh saya sebagai suami egois. Selain itu, saya tidak sepakat dengan cara isteri saya mengelola keuangan. Dia boros sekali. Lena berbeda. Dia bisa memahami kesibukan saya. Pola pacaran kami sekarang lebih santai. Kalau bisa ketemu ya kita makan malam bareng, kalau masing-masing sibuk ya sudah kita atur lagi. Masalah pengelolaan keuangan juga sudah kami sepakati”.

Dari banyak sesi konseling bagi pasangan-pasangan seperti Lena dan Doddy, saya bisa melihat bahwa setiap pasangan yang akan menikah kembali memiliki harapan besar untuk bisa membangun kehidupan rumah tangga yang lebih baik. Masing-masing telah berproses untuk melihat kelemahan dari relasi yang mereka bangun dengan pasangan sebelumnya. Berbekal pengetahuan ini, mereka pun cukup yakin bisa menjalani rumah tangga keduanya secara lebih “benar”.

Sayangnya, pengalaman dari pernikahan pertama saja belum cukup untuk membantu para pasangan untuk menuai keberhasilan di pernikahan mereka yang kedua. Masih ada beberapa hal lain yang perlu diperhatikan. Nah, melalui artikel ini saya akan berbagi pengetahuan mengenai hal apa saja yang perlu diperhatikan pasangan yang hendak menikah kembali untuk kedua kalinya, terutama jika sudah ada anak dari pernikahan yang terdahulu.

Hal Positif tentang Pernikahan Kedua

Menurut seorang pakar psikologi yang menyoroti dinamika pernikahan kedua, keputusan untuk menikah lagi memiliki banyak keuntungan, baik bagi perkembangan anak maupun orang tua. Pernikahan kedua bisa membuat orang tua merasa lebih tenang karena memiliki pasangan hidup sebagai tempat berdiskusi mengenai berbagai hal. Orang tua yang tadinya merasa terbebani karena harus memutuskan segalanya sendiri, kini bisa membahas masalah-masalahnya dan mendapat masukan solusi dari pasangan yang baru. Hal ini tentu berpengaruh terhadap tingkat stress orang tua.

Bagi anak, adanya orangtua tiri dapat menyediakan dukungan emosional dalam perkembangan psikologis, yang sebelumnya mungkin dirasa kurang memadai karena proses perceraian orang tua kandung. Juga ditemukan dampak positif pernikahan kedua pada anak laki-laki pra remaja karena ketika pernikahan kedua terjadi sebelum mereka beranjak remaja, keluarga tiri lebih mudah membentuk hubungan yang dekat dengan anak tersebut. Lebih lanjut, hal itu ternyata mampu mengurangi potensi masuknya pengaruh negatif dari lingkungan yang biasanya semakin kuat di usia remaja.

Secara garis besar, pernikahan kembali menyediakan keuntungan dari adanya figur orang tua yang lengkap di dalam rumah. Keberadaan figur ayah maupun ibu yang baru sedikit banyak tetap bisa menambal peran-peran yang mungkin tadinya tidak bisa dikuasai seluruhnya oleh orang tua tunggal.

Tantangan dari Pernikahan Kedua

Pernikahan kedua memang memuat sejumlah hal-hal positif, tapi jangan lupa bahwa pernikahan kedua juga mengandung tantangan yang bahkan lebih besar dari pernikahan pertama. Walaupun masing-masing pihak akan berusaha keras untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama dari pernikahan yang sebelumnya, tetap saja, penggabungan dua keluarga menjadi satu bukanlah hal yang mudah. Inilah tantangan-tantangan yang akan dihadapi individu pada pernikahan kedua:

Membangun hubungan pernikahan yang kuat
Menikah tentu saja membutuhkan masa-masa penyesuaian diri. Ketika pasangan yang menikah lagi membawa anak dari pernikahan terdahulu maka ada dua proses penyesuaian diri yang harus dilakukan, dengan pasangan dan dengan anak pasangan. Sementara itu kehadiran anak cenderung membuat masa bulan madu menjadi hilang. Biasanya pasangan justru akan memfokuskan perhatiannya pada aktivitas mengasuh anak, padahal masa bulan madu dibutuhkan untuk mempererat ikatan dalam pernikahan. Cobalah menyadari ini sehingga Anda bisa mulai merencanakan bagaimana membagi waktu dan perhatian di masa-masa awal-awal pernikahan.

Membangun hubungan orangtua tiri dan anak tiri
Kebanyakan orang merasa tidak nyaman dengan status “orang tua tiri” yang melekat pada diri mereka. Banyaknya mitos tentang kekejaman ayah atau ibu tiri seringkali menghambat usaha orangtua tiri menjalin relasi dengan anak tirinya. Nah, ada yang perlu Anda ketahui di sini. Anak-anak yang lebih muda usia biasanya lebih cepat menerima orangtua tiri dibandingkan remaja. Anak laki-laki lebih cepat menerima ayah tiri dibanding anak perempuan. Orangtua tiri yang “sok akrab”, sekalipun dengan cara yang positif, dijamin akan ditolak mentah-mentah oleh anak. Anak perempuan misalnya, mereka cenderung merasa jengah ketika ayah tiri berusaha melakukan pendekatan berupa kontak fisik seperti pelukan atau tepukan di pundak. Mereka akan lebih senang jika hanya diberikan pujian verbal atau hadiah-hadiah kecil. Jadi, relasi yang baik antara orangtua tiri dan anak tidak hanya ditentukan oleh keinginan dan usaha orangtua tiri, tapi juga ditentukan oleh kesiapan anak dan perkembangan anak. Cobalah belajar sedikit tentang psikologi anak, atau bertanya pada ahlinya kalau Anda nanti akan punya anak tiri.

Membantu adaptasi relasi anak dengan orangtua kandung di kehidupan pernikahan baru
Ketika orang tua memutuskan untuk menikah dengan orang lain, anak biasanya mempersepsi pernikahan kedua sebagai hilangnya kasih sayang dari orang tua kandung mereka. Anak merasa harus berkompetisi dengan orang tua tiri karena orangtua kandung akan lebih memperhatikan pasangan barunya. Ini adalah tantangan bagi orang tua kandung untuk bisa menempatkan diri secara adil. Jangan sampai anak mendapat pengukuhan bahwa memang benar orang tua kandung mereka lebih mencintai pasangan barunya daripada anak kandungnya sendiri. Selain itu, anak juga masih perlu beradaptasi dengan perubahan pola hubungan antara dirinya dan orangtua kandung yang tidak satu rumah (mantan suami/istri pasangan Anda). Anak butuh waktu untuk menerima bahwa saat ini ayahnya (atau ibunya) sudah tidak bisa terlalu sering bertemu atau datang ke rumah karena ibunya (atau ayahnya) sudah menikah dengan orang lain.

Mempertahankan hubungan di keluarga besar
Tugas ini paling berat karena hubungan di keluarga besar akan semakin kompleks dengan melibatkan saudara kandung dan saudara tiri, belum lagi sampai relasi dengan kakek nenek. Hubungan keluarga besar dari orang tua tiri cenderung akan lebih berjarak, berpotensi konflik, dan diwarnai interaksi negatif dibandingkan dengan keluarga besar dari orang tua kandung. Namanya juga keluarga yang baru dikenal, tentu butuh waktu untuk saling memahami karakteristik kepribadian masing-masing.

Wah, menikah lagi ternyata tidak mudah juga ya? Tapi saya harap Anda tidak gentar menghadapi tantangan yang menunggu Anda. Mari, saya bocorkan satu rahasia. Berdasarkan pengalaman saya, kesalahan terbesar yang sering terjadi pada pernikahan kedua adalah harapan bahwa segalanya akan langsung berjalan lancar dalam tempo yang cepat. Kita tidak ingin ada konflik, tetapi seringkali kita lupa mengakui bahwa proses pernikahan kedua membutuhkan waktu untuk penyesuaian diri. Perlu ada proses-proses adaptasi yang perlu terjadi, dan biarkan saja berjalan alami. Kita kerap ingin sempurna sehingga adakalanya sebagai orangtua yang kita lakukan pertamakali adalah memasang pancang tentang ritual atau kebiasaan yang baik di keluarga kita, sibuk pada citra keluarga yang baik, namun kurang waktu untuk membina kedekatan emosional dengan pasangan maupun anak. Alih-alih sibuk merias diri, lebih baik Anda meluangkan energi dan waktu untuk mendekatkan diri dengan keluarga inti Anda yang baru. Jika relasi yang kondusif telah terjalin di dalam keluarga, tentu citra keluarga yang baik akan secara otomatis tampil ke lingkungan.

Bekal Menghadapi Pernikahan Kedua

Pernikahan kedua memiliki dua misi yaitu membina hubungan yang dekat dengan pasangan sekaligus menjalin kedekatan emosional dengan anak (anak tiri dan anak kandung). Dengan demikian kualitas kepribadian kedua orangtua menentukan apakah pernikahan kedua akan dapat dijalani dengan mulus atau tidak.

Oleh karena itu, niat awal dari pernikahan kedua menjadi sangat penting. Mudah-mudahan memang karena dilandasi rasa ingin membina keluarga yang lebih baik serta didasari sikap ikhlas untuk menjalani semuanya. Orangtua yang memutuskan menikah kembali harus memiliki pribadi yang matang secara emosi disamping matang secara finansial. Kemandirian finansial memang diperlukan pada pernikahan kedua karena kebutuhan keluarga semakin beragam. Namun kematangan diri orang tua akan lebih banyak membantu dalam menyesuaikan diri dengan peran baru di pernikahan kedua. Meminjam konsep yang dikembangkan oleh David Goleman (pakar Emotional Intelligence), orangtua PASTI BISA melewati masa-masa sulit di pernikahan kedua, asalkan mereka:
Menyadari perasaan yang dialami dan perasaan yang dialami oleh orang lain
Sebaiknya pasangan saling melakukan introspeksi untuk menghayati dan menerima perasaan-perasaan yang ada, baik perasaan positif dan negatif. Meski tidak kita kehendaki, bukan tidak mungkin kita akan mengalami masa-masa konflik dengan pasangan yang kita cintai di pernikahan yang kedua. Nah, dengan kita mengakui adanya rasa kesal, marah, atau kecewa akan memudahkan kita dalam menghayati perasaan yang dialami pasangan maupun anak (kandung atau tiri).

Menunjukkan empati dan memahami sudut pandang orang lain
Empati adalah kemampuan untuk merasakan perasaan orang lain. Biasanya individu yang memiliki empati yang besar tidak mudah berburuk sangka kepada pasangan maupun anak. Ketika ada masalah, individu tersebut akan meminta yang bersangkutan menceritakan apa yang dialami dan dirasakan. Di sinilah unsur kemauan untuk mendengarkan orang lain menjadi penting. Meminjam istilah dari Stephen Covey sang pencetus 7 Habits of highly effective people, marilah mendengar orang lain dengan mata dan hati.

Mampu mengelola perilaku dan emosi dengan positif
Jelas bahwa kita sebagai manusia terkadang tak luput dari kesalahan. Kita boleh kesal, marah, dan kecewa dengan keadaan. Apalagi pada pernikahan kedua ini sangat mungkin masalah muncul tiba-tiba. Siapa duga jika ternyata tadinya relasi Anda baik-baik saja dengan anak tiri namun sekarang dia sangat membenci Anda. Siapapun kita, perasaan kecewa maupun marah sangat normal dialami. Namun ingat bahwa kita juga yang memilih mau marah dengan cara apa. Apakah dengan memaki-maki sampai puas, menggunakan kekerasan fisik sampai lelah, membiarkan saja kemarahan dan mengalihkan perhatian pada hobi, atau justru mengatur respons yang tepat sehingga pada akhirnya Anda dapat duduk bersama dengan pasangan atau anak ketika membicarakan kesulitan-kesulitan yang muncul.

Memiliki tujuan dan perencanaan
Tugas penting dari perkembangan manusia adalah memiliki tujuan tentang apa yang hendak diraih. Artinya kita sebagai orang tua mestinya berorientasi pada tujuan tertentu. Di sinilah perlu adanya optimisme dan harapan di hati para orang tua. Optimisme mengarahkan semangat kita pada aura yang positif dan menjadikan kita orang-orang yang tangguh. Di sini ada muatan spiritual bahwa memang ada kekuasaan terbesar di luar kita, kita akui tetapi kita berusaha optimis menghadapi segala tantangan. Tentunya selain berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa perlu disertai upaya untuk mengatasi masalah agar kehidupan dapat berlangsung lebih baik.

Menggunakan cara-cara yang baik dalam mengelola relasi dengan sesama
Hal yang dimaksud di sini adalah cara-cara yang produktif. Intinya adalah komunikasi dan pemecahan masalah. Proses pernikahan kedua bisa menjadi lebih mudah ketika kita membuka komunikasi, menyampaikan kebutuhan kita dengan cara yang tepat, boleh mengalah untuk kemudian di waktu yang tepat menyampaikan pendapat kita, berani menghadapi konflik untuk kemudian diatasi, serta cara-cara kreatif untuk mendekatkan relasi antar anggota keluarga.

Dengan kesiapan seperti ini, jangan ragu untuk membulatkan keputusan menikah kembali. Orang bijak mengatakan bahwa satu-satunya hal yang pasti di dalam hidup adalah perubahan. Oleh karena itu, anggaplah pernikahan Anda yang keduakalinya ini sebagai salah satu dari perubahan tersebut. Memang sedikit mengejutkan di awal, tapi tentu seiring dengan berjalannya waktu dan usaha beradaptasi yang Anda kerahkan, jalan perahu rumah tangga Anda akan menjadi semakin halus dan tenang.

1 komentar:

Pongky Toding mengatakan...

Bagi yang berniat melakukan pernikahan kedua adalah orang yang tidak punya tanggung jawab.
Apalagi bagi orang yang pernah mengucapkan "Apa pun akan ku perbuat asalkan kamu mau menikah denganku"

hahahaa..iseng aj bro
lam sukses & mat berkompetisi