PEMALU

Para ahli nampaknya memiliki beberapa pandangan yang berbeda tentang perilaku pemalu (shyness). Ada ahli yang mengatakan bahwa pemalu adalah suatu sifat bawaan atau karakter yang terberi sejak lahir. Ahli lain mengatakan bahwa pemalu adalah perilaku yang merupakan hasil belajar atau respond terhadap suatu kondisi tertentu. Secara definitif, penulis menjabarkan pemalu sebagai suatu keadaan dalam diri seseorang dimana orang tersebut sangat peduli dengan penilaian orang lain terhadap dirinya dan merasa cemas karena penilaian sosial tersebut, sehingga cenderung untuk menarik diri

Kecenderungan menarik diri ini sudah dimulai sejak masa kanak-kanak, bahkan sejak bayi. Kita dapat melihat ada bayi-bayi yang menangis jika didekati orang atau tidak mau untuk dipegang. Sebaliknya ada juga bayi-bayi yang tidak pemalu, mereka membiarkan diri mereka berada dekat orang lain, dan tidak menolak digendong oleh orang yang tidak dikenal.

Swallow (2000) seorang psikiater anak, membuat daftar hal-hal yang biasanya dilakukan/dirasakan oleh anak yang pemalu: menghindari kontak mata; tidak mau melakukan apa-apa; terkadang memperlihatkan perilaku mengamuk/temper tantrums (dilakukan untuk melepaskan kecemasannya); tidak banyak bicara, menjawab secukupnya saja seperti "ya", "tidak", "tidak tahu", "halo"; tidak mau mengikuti kegiatan-kegiatan di kelas;

tidak mau meminta pertolongan atau bertanya pada orang yang tidak dikenal; mengalami demam panggung (pipi memerah, tangan berkeringat, keringat dingin, bibir terasa kering) di saat-saat tertentu;

menggunakan alasan sakit agar tidak perlu berhubungan dengan orang lain (misalnya agat tidak perlu pergi ke sekolah);

mengalami psikosomatis; merasa tidak ada yang menyukainya.

Swallow juga menyatakan adanya beberapa situasi dimana seseorang (pemalu maupun tidak) akan mengalami rasa malu yang wajar dan lebih dapat diterima, yaitu:

bertemu dengan orang yang baru dikenal;

tampil di depan orang banyak; situasi baru (misalnya sekolah baru, pindah rumah baru).

Dampak Sifat Pemalu

Pada dasarnya pemalu bukanlah hal yang menjadi masalah ataupun dipermasalahkan, dan sudah pasti bukan merupakan abnormalitas. Tetapi masalah justru bisa muncul akibat sifat pemalu. Peribahasa malu bertanya sesat di jalan, menggambarkan secara tepat masalah yang dapat muncul karena rasa malu yang ada dalam diri seseorang. Misalnya, ketika berada di rumah teman/tetangga, anak ingin buang air kecil tetapi malu minta ijin ke toilet, sehingga menahan keinginan buang air yang akhirnya berakibat sianak malah mengompol.

Pemalu juga dapat menjadi masalah, jika sifat ini menyebabkan potensi anak menjadi terkubur dan anak tidak berkembang secara optimal sesuai dengan potensinya. Misalnya anak yang punya suara bagus dan berbakat menyanyi, tapi merasa malu untuk mengasah bakatnya dengan ikut koor, les vokal dan mengikuti kejuaraan, maka suara indahnya akan tersimpan sia-sia dan tidak bertambah indah. Hal ini sangat disayangkan baik bagi anak maupun orangtuanya.

Ketika Anak Menonton Televisi

Pikiran Orangtua:

Malu, mau marah dan jantung rasanya mau copot ketika tiba-tiba mendengar Edu berteriak "bajingan kau!!!". Entah belajar darimana, tapi rasanya kok sebagai orangtua tidak pernah mengatakan hal-hal kasar seperti itu, pembantu di rumah juga tidak ada yang bicara seperti itu, Wah jangan-jangan dari anak tetangga sebelah rumah. Aaaaaah ternyata Edu mendengarnya di televisi. Di televisi? Bukankah program tayangan Teletubbies kesayangan Edu tidak ada bahasa kasar seperti itu? Ooooooh ternyata Edu juga suka menonton telenovela bersama nenek. Aduh.... kan tidak mungkin melarang nenek menonton telenovela, jadi yang perlu dipikirkan sekarang adalah bagaimana caranya supaya Edu tidak ikutan menonton telenovela bersama nenek dan hanya menonton acara anak-anak saja.

Pikiran Anak:

Aduh, Mama/Papa marah nih, gara-gara Edu tadi bilang "bajingan kau!!!". Padahal kan Edu lihat ada om jagoan ganteng di televisi bilang begitu, Edu cuman meniru saja kok. Memangnya "bajingan kau" itu apa sih? Kata mama, itu kata-kata kasar, memangnya kata-kata kasar itu apa sih? Edu kan ingin seperti om jagoan ganteng di televisi itu, banyak yang suka, banyak yang sayang, nenek dan mbak saja tiap hari harus lihat om itu, mama juga kalau di rumah lihat om itu. Tapi, Edu jadi bingung sama Mama dan Papa, kalau Edu hafal cerita-cerita film yang ada di televisi, Mama dan Papa bangga. Mama dan Papa sering bilang sama om dan tante Edu: "wah Edu pintar loh, dia bisa hafal semua cerita-cerita film televisi". Kalau Edu hafal iklan-iklan di televisi Mama dan Papa juga bangga, katanya Edu pintar, terus kalau Edu lagi menirukan iklan televisi katanya Edu lucu dan menggemaskan. Tapi kalau Edu nonton televisi terus-terusan, Mama dan Papa marah, katanya Edu malas. Padahal kalau nggak nonton kan nggak bisa hafal film dan iklan yang di televisi. Aduuuuuuh Edu jadi bingung.

Sebagai orangtua, pernahkah anda mengalami situasi seperti di atas? Kadang-kadang marah karena anak menirukan adegan di televisi, tetapi seringkali juga memuji dan bangga kalau anak hafal dengan cerita-cerita atau iklan-iklan yang ada di televisi. Kalau dilihat sepintas sepertinya ada standard ganda di sini, walaupun sebenarnya tidak. Sebagai orangtua kita sudah tahu dengan pasti mana yang pantas dan mana yang tidak, mana yang baik dan mana yang buruk, sehingga kita bisa menetapkan mana program yang boleh ditonton dan ditiru dan mana yang tidak. Orangtua juga tahu kapan menonton televisi, kapan waktu belajar. Tetapi apakah anak sudah tahu dengan pasti mengenai hal baik dan buruk tersebut, apakah anak sudah mengetahui program televisi mana saja yang diperbolehkan untuk ditonton dan apakah anak sudah menyadari benar-benar mengenai pembagian waktu? Anak mungkin bingung dan tidak mengerti, ditambah lagi kalau standard yang ditetapkan oleh orangtua berbeda dengan yang ditetapkan oleh pengasuh (termasuk dalam pengasuh adalah suster, kakek-nenek dan om-tante yang ikut serta dalam pengasuhan sehari-hari). Nah, pertanyaan kita kemudian adalah bagaimana orangtua menyikapi anak dalam menonton televisi?

Darimana Anak Meniru Adegan Kekerasan ?

Televisi, si kotak ajaib yang keberadaanya sudah menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari, seringkali menimbulkan kecemasan bagi orangtua yang anaknya masih kecil. Cemas kalau anak jadi malas belajar karena kebanyakan nonton televisi, cemas kalau anak meniru kata-kata dan adegan-adegan tertentu, cemas mata anak jadi rusak (minus), dan cemas anak menjadi lebih agresif karena terpengaruh banyaknya adegan kekerasan di televisi. Namun demikian harus diakui bahwa kebutuhan untuk mendapatkan hiburan, pengetahuan dan informasi secara mudah melalui televisi juga tidak dapat dihindarkan. Televisi, selain selalu tersedia dan amat mudah diakses, juga menyuguhkan banyak sekali pilihan, ada sederet acara dari tiap stasiun televisi, tinggal bagaimana pemirsa memilih acara yang dibutuhkan, disukai dan sesuai dengan selera. Sehingga walaupun semua orang mungkin sudah tahu akan dampak negatif yang bisa ditimbulkannya, keberadaan televisi tetap saja dipertahankan.

Kecemasan orangtua terhadap dampak menonton televisi bagi anak-anak memang sangat beralasan, mengingat bahwa banyak penelitian menunjukkan televisi memang memiliki banyak pengaruh baik negatif maupun positif. Misalnya penelitian yang dilakukan Liebert dan Baron, menunjukkan hasil: anak yang menonton program televisi yang menampilkan adegan kekerasan memiliki keinginan lebih untuk berbuat kekerasan terhadap anak lain, dibandingkan dengan anak yang menonton program netral (tidak mengandung unsur kekerasan).

Dalam benak banyak orang dewasa, film-film kartun dan film-film robot dianggap merupakan film anak-anak dan cocok dikonsumsi oleh mereka karena format penyajiannya disesuaikan dengan perkembangan anak-anak. Benarkah demikian? Jawabnya tidak semua film-film tersebut cocok dikonsumsi anak-anak. Contohnya Bart Simpson dan Crayon Sinchan yang cukup populer di Indonesia, sebenarnya tidak cocok untuk anak-anak, karena bercerita dalam bahasa yang kasar dan tingkah laku urakan. Tetapi diawal kemunculannya, orangtua membiarkan kedua film tersebut ditonton oleh anak-anak karena format penyajian dan jam tayangnya yang pas dengan waktu anak menonton televisi. Setelah berjalan beberapa lama barulah orangtua menyadari kalau tontonan tersebut tidak cocok dan ramai-ramai mengajukan protes kepada stasiun televisi. Akhirnya kemudian film tersebut diberi keterangan bukan untuk konsumsi anak-anak.

Kalau mau lebih teliti, sebenarnya banyak film "anak-anak" yang justru menampilkan adegan kekerasan dan kata-kata yang kasar (meski tidak sekasar film dewasa sih), walaupun banyak juga terdapat adegan-adegan kebaikan (karena biasanya film-film tersebut bercerita tentang pertentangan antara kebaikan dan kejahatan). Contoh film-film yang memiliki kedua unsur tersebut adalah film Popeye the Sailor Man, Batman & Robin, Power Puff Girls, Power Ranger dan Saras 008. Film-film ini sangat populer di dalam dunia anak-anak kita sehingga seringkali menjadi model yang ditiru oleh anak-anak. Meskipun mengandung adegan kekerasan, namun film-film ini sepertinya tidak menimbulkan kecemasan bagi orangtua, karena para orangtua sampai sekarang merasa aman meninggalkan anak-anak ketika menonton film-film ini. Sementara itu kalau ada film dewasa, baik yang menampilkan adegan kekerasan maupun tidak, anak-anak seringkali tidak diperbolehkan menonton. Hal ini sudah menunjukkan standard ganda yang diberikan orangtua kepada anak. Adegan kekerasan dalam film dewasa tidak boleh ditonton, tetapi adegan kekerasan dalam film anak-anak boleh ditonton, jadi kekerasan boleh atau tidak? Lalu apakah tidak ada kemungkinan bahwa anak justru dapat juga meniru adegan kekerasan atau kata-kata kasar yang ada dalam film-film tersebut karena mereka melihat bahwa orangtua membiarkan mereka menonton film tersebut dengan bebas?

Apa yang Sebaiknya Dilakukan Orangtua ?

Mengingat bahwa sangatlah sulit (bahkan tidak mungkin) bagi orangtua untuk menjauhkan anak dari televisi, maka ada baiknya orangtua melakukan beberapa hal sebagai berikut:

Dampingi anak ketika menonton dan beri penjelasan

Sebenarnya daripada orangtua tiba-tiba mengomel ataupun memuji anak, hal pertama yang sebaiknya dilakukan adalah memberi pengertian dan mendampingi anak ketika menonton televisi. Jika anak bertanya jawablah pertanyaan tersebut dengan rinci dan sesuai dengan perkembangan anak. Banyak hal yang belum diketahui oleh seorang anak, oleh karena itu kalau tidak ada yang memberi tahu ia akan mencari sendiri dengan mencoba-coba dan meniru dari orang dewasa. Apakah hasil percobaan maupun peniruannya benar atau salah, anak mungkin tidak tahu. Di sinilah tugas orangtua untuk selalu memberi pengertian kepada anak, secara konsisten. Kebingungan anak karena standar ganda yang diterapkan orangtua juga bisa teratasi kalau orangtua memberi penjelasan kepada anak.

Buat jadwal kegiatan anak

Anak juga perlu diajarkan bahwa ada waktu tersendiri untuk setiap kegiatan-kegiatannya. Atur waktu yang jelas, kapan menonton televisi, kapan belajar dan kapan bermain. Walaupun anak sudah relaks dengan menonton televisi, anak tetap butuh waktu untuk bermain. Televisi mengkondisikan anak menjadi pasif, hanya menerima dan menyerap informasi dengan posisi tubuh yang juga pasif (cukup dengan duduk), karena itu anak tetap perlu waktu untuk bermain (terutama bermain dengan anak-anak lain) supaya mereka tetap aktif dan mampu bersosialisasi. Mereka tetap butuh waktu untuk berlari-larian, mengobrol dengan teman-teman dan bermain dengan mainan. Pengaturan waktu bisa mengkondisikan anak untuk selalu menonton televisi dengan didampingi orangtua.

Seleksi program tayangan televisi yang cocok untuk anak

Kalaupun tidak sempat mendampingi anak, orangtua sebaiknya menyeleksi program televisi mana yang benar-benar cocok untuk anak. Sebelum anak diijinkan untuk menonton program televisi tertentu, orangtua sudah mengetahui program tersebut cocok atau tidak untuk anak, jadi orangtua sudah pernah terlebih dulu menonton program tersebut dan melakukan evaluasi. Jangan sampai terjadi lagi kasus Crayon Sinchan. Untuk melakukan hal ini tentu saja dibutuhkan kesabaran dan pengorbanan dari orangtua, untuk sementara orangtua harus mengorbankan kesenangannya sendiri menonton televisi demi mencari-cari dan menyeleksi program televisi yang cocok untuk anak tercinta.

Bangun kerjasama dengan seluruh anggota keluarga

Bangunlah kerjasama dengan seluruh anggota keluarga, karena kerja sama dari seluruh anggota keluarga (termasuk pengasuh) sangat diperlukan. Pastikan bahwa seluruh keluarga memiliki pengertian yang sama mengenai anak dan masalah televisi tersebut. Berikan pengertian kepada anggota keluarga bahwa bagaimanapun juga mereka kadang-kadang harus mengorbankan kesenangan mereka demi kebaikan sang anak. Jangan sampai standard yang sudah diterapkan orangtua terhadap anak, ternyata tidak diterapkan oleh anggota keluarga lainnya ketika orangtua tidak ada ditempat.

Konsisten dalam bertindak

Orangtua dan pengasuh perlu untuk selalu bertindak secara konsisten dan tidak bosan-bosannya dalam memberikan pengertian kepada anak, sehingga anak tahu dengan jelas mana yang boleh mana yang tidak, mana yang baik dan mana yang buruk. Oke.....semoga bermanfaat

Labeling

Bodoh sekali sih kamu, begitu saja salah, tidak bisa……

Aduh anak saya ini loh pemalu sekali……..

Dasar anak bandel……….

Beberapa orangtua pasti tidak asing dengan kalimat-kalimat di atas, beberapa orangtua yang lain mungkin pernah mendengar (dan mengucapkan) versi-versi lain dari kalimat sejenis. Versi-versi lain itu bisa kalimat negatif seperti contoh-contoh di atas dan bisa juga kalimat-kalimat positif yang berisi pujian tentang kehebatan-kehebatan anaknya. Orangtua yang "sempurna" dan sulit menerima kesalahan dan kekurangan, mungkin akan lebih banyak mengatakan kalimat-kalimat negatif, orangtua yang "adil" mungkin pernah mengatakan kedua jenis kalimat tersebut tergantung keadaan anak, sementara orangtua lain yang selalu berpikir positif dan hanya mau melihat hal-hal positif pada anaknya mungkin hanya mengatakan kalimat-kalimat positif. Semua itu disebut sebagai labeling.

Labeling

Labeling adalah proses melabel seseorang. Label, menurut yang tercantum dalam A Handbook for The Study of Mental Health, adalah sebuah definisi yang ketika diberikan pada seseorang akan menjadi identitas diri orang tersebut, dan menjelaskan orang dengan tipe bagaimanakah dia.Dengan memberikan label pada diri seseorang, kita cenderung melihat dia secara keseluruhan kepribadiannya, dan bukan pada perilakunya satu persatu.

Dampak Terhadap Anak

Dalam teori labeling ada satu pemikiran dasar, dimana pemikiran tersebut menyatakan "seseorang yang diberi label sebagai seseorang yang devian dan diperlakukan seperti orang yang devian akan menjadi devian".Penerapan dari pemikiran ini akan kurang lebih seperti berikut "anak yang diberi label bandel, dan diperlakukan seperti anak bandel, akan menjadi bandel". Atau penerapan lain "anak yang diberi label bodoh, dan diperlakukan seperti anak bodoh, akan menjadi bodoh". Kalau begitu mungkin bisa juga seperti ini "Anak yang diberi label pintar, dan diperlakukan seperti anak pintar, akan menjadi pintar".

Pemikiran dasar teori labeling ini memang yang biasa terjadi, ketika kita sudah melabel seseorang, kita cenderung memperlakukan seseorang sesuai dengan label yang kita berikan. Misalnya, seorang anak yang diberi label bodoh cenderung tidak diberikan tugas-tugas yang menantang dan punya tingkat kesulitan di atas kemampuannya karena kita berpikir "ah dia pasti tidak bisa kan dia bodoh, percuma saja menyuruh dia". Karena anak tersebut tidak dipacu akhirnya kemampuannya tidak berkembang lebih baik. Kemampuannya yang tidak berkembang akan menguatkan pendapat/label orangtua bahwa si anak bodoh. Lalu orangtua semakin tidak memicu anak untuk berusaha yang terbaik, lalu anak akan semakin bodoh. Anak yang diberi label negatif dan mengiyakan label tersebut bagi dirinya, cenderung bertindak sesuai dengan label yang melekat padanya. Dengan ia bertindak sesuai labelnya, orang akan memperlakukan dia juga sesuai labelnya. Hal ini menjadi siklus melingkar yang berulang-ulang dan semakin saling menguatkan terus-menerus.

Dalam buku Raising A Happy Child, banyak ahli yang setuju, bahwa bagaimana seseorang memandang dan merasakan dirinya sendiri akan menjadi dasar orang tersebut beradaptasi sepanjang hidupnya. Anak yang memandang dirinya baik akan mendekati orang lain dengan rasa percaya dan memandang dunia sebagai tempat yang aman, dan kebutuhan-kebutuhannya akan terpenuhi. Sementara anak yang merasa dirinya tidak berharga, tidak dicintai akan cenderung memilih jalan yang mudah, tidak berani mengambil resiko dan tetap saja tidak berprestasi.

Bagi banyak orang (termasuk anak-anak) pengalaman mendapatkan label tertentu (terutama yang negatif) memicu pemikiran bahwa dirinya ditolak. Pemikiran bahwa dirinya ditolak dan kemudian dibarengi oleh penolakan yang sesungguhnya, dapat menghancurkan kemampuan berinteraksi, mengurangi rasa harga diri, dan berpengaruh negatif terhadap kinerja seseorang dalam kehidupan sosial dan kehidupan kerjanya.

Saran Bagi Orangtua

Adalah penting bagi anak untuk merasa bahwa dirinya berharga dan dicintai. Perasaan ini diketemukan olehnya lewat respon orang-orang sekitarnya, terutama orang terdekat yaitu orangtua. Kalau respon orangtua positif tentunya tidak perlu dicemaskan akibatnya. Tetapi, adakalanya sebagai orangtua, tidak dapat menahan diri sehingga memberikan respon-respon negatif seputar perilaku anak. Walaupun sesungguhnya orangtua tidak bermaksud buruk dengan respon-responnya, namun tanpa disadari hal-hal yang dikatakan orangtua dan bagaimana orangtua bertindak, masuk dalam hati dan pikiran seorang anak dan berpengaruh dalam kehidupannya.

Beberapa saran bagi orangtua:

1. Berespon secara spesifik terhadap perilaku anak, dan bukan kepribadiannya. Kalau anak bertindak sesuatu yang tidak berkenan di hati, jangan berespon dengan memberikan label, karena melabel berarti menunjuk pada kepribadian anak, seperti sesuatu yang terberi dan tidak bisa lagi diperbaiki. Contoh: Kalau anak tidak berani menghadapi orang baru, jangan katakan "Aduh kamu pemalu sekali", atau "Jangan penakut begitu dong Nak", tetapi beresponlah "Tidak kenal ya dengan tante ini, jadi tidak mau menyapa. Kalau besok ketemu lagi, mau ya menyapa, kan sudah pernah kenalan". Kalau anak nakal (naughty), jangan katakan bahwa dia nakal tapi katakan bahwa perilakunya salah (misbehave). Anak-anak sering berperilaku salah, selain karena mereka memang belum mengetahui semua hal yang baik-buruk; benar-salah; boleh-tidak boleh, mereka juga suka menguji batas-batas dari orangtuanya. Misalnya, kakak merebut mainan adik, katakan "Kakak, merebut mainan orang lain itu salah, tidak boleh begitu. Kalau main sama adik gantian ya" (dan bukan mengatakan "Kakaaaaak, nakal sekali sih merebut mainan adiknya"). Dengan demikian tidak ada pesan negatif yang masuk dalam pikiran anak, dan bahkan anak didorong untuk mau bertindak benar di waktu berikutnya.

2. Gunakan label untuk kepentingan pribadi orangtua. Sebenarnya melabel tidak selamanya buruk, asalkan label tersebut digunakan orangtua untuk dirinya sendiri, agar lebih memahami dinamika perilaku anak. Misalnya, "Anakku A lebih bodoh daripada anakku B". Tapi label tersebut tidak dikatakan di depan anak, "A kamu itu kok lebih bodoh ya daripada adikmu si B". Dengan mengetahui dinamika anak lewat label yang ada dalam pikiran orangtua sendiri, hendaknya orangtua menggunakan label tersebut untuk menyusun strategi selanjutnya, agar kekurangan anak diperbaiki. Misalnya, setelah mengetahui A lebih bodoh daripada B, maka orangtua memberikan lebih banyak waktu untuk mengajarkan sesuatu dan mempersiapkan diri untuk lebih sabar jika menghadapi A.

3. Menarik diri sementara jika sudah tidak sabar. Adakalanya orangtua sudah tidak sabar dan inginnya melabel anak, misalnya "Heeeeh kamu goblok banget sih, 1 + 1 saja tidak bisa-bisa". Jika kesabaran sudah diambang batas, sebelum kata-kata negatif keluar, ada baiknya orangtua menarik diri sementara dari anak, time off. Katakan pada anak, "Papa sudah lelah, mungkin kamu juga sudah lelah. Kita istirahat dulu, nanti belajar lagi sama-sama. Siapa tahu setelah istirahat kita berdua lebih berkonsentrasi dan semangat belajar".

Bagaimana cara orangtua berbicara dan menanggapi kekurangan-kekurangan anak akan sangat berpengaruh bagi anak sepanjang hidupnya. Oleh karena itu orangtua harus sangat berahti-hati dan mempertimbangkan secara matang apa yang akan diucapkan kepada anaknya. Mulutmu harimaumu, begitulah kata pepatah, yang dalam hal ini mulut orangtua bisa menjadi harimau bagi anak. Penting sekali orangtua selalu berkata-kata positif tentang anak, agar anak jadi berpikir positif tentang dirinya dan bertumbuh dengan harga diri yang tinggi dan perasaan dicintai dan diterima.

Mendengar atau Terdengar ?

(Anak) : Mama...mama...adek nggak mau sekolah lagi...pokoknya nggak mau...sekolah itu nggak enak soalnya ada si dono yang badannya besar dan suka gangguin adek...adek takut, Ma...adek nggak mau ketemu dono....(sambil menangis) (Mama): (mamanya sambil matanya lekat ke sinetron yang sedang seru-serunya) Mmmm...Oooo...Aahh nggak apa-apa, kan...biasa itu...masa’ begitu saja takut...pokoknya besok sekolah seperti biasa...ya! anggap saja tidak ada apa-apa....ya sudah, sana..! lagi seru niiih..wah, jadi kelewat deh ceritanya...! kamu sih...! Problem Komunikasi Dalam Keluarga

Situasi di atas sepertinya tidak asing lagi di jaman ini, di mana setiap orang, termasuk orang tua, seolah membangun dunia sendiri yang terpisah dari orang lain, bahkan anggota keluarganya sendiri. Komunikasi keluarga menjadi “barang mahal dan barang langka” karena masing-masing sibuk dengan urusan, pikiran dan perasaannya masing-masing. Akhirnya, komunikasi yang tercipta di dalam keluarga, adalah komunikasi yang sifatnya informatif dan superfisial (hanya sebatas permukaan). Misalnya, pemberitahuan agenda kerja ayah hari ini, rapat di kantor, janji bertemu orang, harus presentasi, atau mungkin membicarakan mengenai teman ayah punya pekerjaan baru, si Pak Tiar pergi ke luar negeri, tingkat bunga bank, kurs dollar, situasi politik, kerusuhan yang terjadi di luar daerah, dan lain sebagainya. Sementara ibu membicarakan tentang teman kerja di kantor, rencana bisnis ibu, rencana masak memasak, pertemuan arisan, acara televisi baru, atau membicarakan tentang anak teman ibu yang punya masalah. Anak-anak, punya dunianya sendiri yang sarat dengan keanekaragaman pengalaman dan cerita-cerita seru yang beredar di kalangan teman-teman mereka.

Dalam kepadatan arus informasi yang serba superfisial dan sempitnya “waktu bersama”, membuat hubungan antara orang tua – anak semakin berjarak dan semu. Artinya, hal-hal yang diutarakan dan dikomunikasikan adalah topik umum selayaknya ngobrol dengan orang-orang lainnya. Akibatnya, masing-masing pihak makin sulit mencapai tingkat pemahaman yang dalam dan benar terhadap apa yang dialami, dirasakan, dipikirkan, dibutuhkan dan dirindukan satu sama lain. Dalam pola hubungan komunikasi seperti ini, tidak heran jika ada orang tua yang kaget melihat anaknya tiba-tiba menunjukkan sikap aneh, seperti tidak mau makan, sulit tidur (insomnia), murung atau prestasinya meluncur drastis. Orang tua merasa selama ini anaknya seperti “tidak ada apa-apa” dan biasa saja. Lebih parah lagi, mereka menyalahkan anak, menyalahkan pihak lain, entah pihak sekolah, guru, atau malah saling menyalahkan antara ayah dengan ibu. Seringkali orang tua lupa, bahwa setiap masalah adalah hasil dari sebuah interaksi setiap orang yang terlibat di dalamnya. Setiap orang, punya kontribusi dalam mendorong munculnya masalah, termasuk masalah pada anak-anak mereka.

Seni Mendengarkan

Komunikasi, sesungguhnya tidak hanya terbatas dalam bentuk kata-kata. Komunikasi, adalah ekspresi dari sebuah kesatuan yang sangat kompleks : bahasa tubuh, senyuman, peluk kasih, ciuman sayang, dan kata-kata. Seni mendengarkan, membutuhkan totalitas perhatian dan keinginan mendengarkan, hingga sang pendengar dapat memahami sepenuhnya kompleksitas emosi dan pikiran orang yang sedang berbicara. Bahkan, komunikasi yang sejati, sang pendengar mampu memahami apa yang terjadi / yang dirasakan oleh lawan bicara meski dengan kata-kata yang sangat minimal.

Bagaimana Cara Mendengarkan Yang Baik ?

Di awal artikel ini pembaca dapat menarik gambaran bagaimana suasana hati sang anak dan apa yang diharapkannya ketika ia mencoba “berkomunikasi” dengan sang ibu; dan bagaimana keadaan “hati” anak setelah itu? Kejadian tersebut tampaknya sangat umum terjadi di mana-mana, di hampir setiap keluarga. Memang, tidak ada orang tua sempurna, karena setiap orang tua memiliki masalahnya masing-masing hingga seringkali memblokir hubungan positif yang seharusnya terjalin antara mereka dengan anak-anak. Tapi, bukan berarti hal itu dapat selalu dimaklumi, bukan? Bagaimana pun, setiap kita para orang tua, perlu diingatkan kembali, bagaimana cara “mendengarkan” anak kita.

1. Fokuskan perhatian pada anak

Pada saat anak mencoba mengatakan sesuatu, berilah perhatian sepenuhnya pada ceritanya. Untuk itu, alangkah baiknya jika kita mengalihkan perhatian sejenak dari film atau sinetron yang sedang ditonton, majalah, koran, atau dari pekerjaan yang sedang dihadapi. Tataplah langsung di matanya sambil memberi kesan bahwa kita benar-benar siap memperhatikan ceritanya, dan mendorongnya untuk bercerita.

2. Re-statement, mengulangi cerita anak untuk menyamakan pengertian

Tahanlah diri untuk tidak menginterupsi ceritanya sampai anak selesai bercerita. Ketika anak selesai bercerita, cobalah memberikan kesimpulan berdasarkan hasil tangkapan kita terhadap ceritanya. Pola ini, memberikan feedback bagi orang tua dan anak, apakah kita benar-benar telah memahami apa yang diceritakan atau apa yang sebenarnya ingin diungkapkan oleh anak.

3. Menggali perasaan dan pendapat anak akan masalah yang sedang dihadapi

Kita boleh bertanya pada mereka : “bagaimana perasaan adek, waktu itu....”; cara ini jauh lebih baik ketimbang menjatuhkan penilaian subyektif atas diri mereka : “ah, kamu pasti takut! Kamu kan penakut....” atau “ah, paling kamu menangis...kan kamu cengeng...” atau “kamu nggak menangis, kan? Anak mama papa pemberani, tentu tidak pernah menangis!”...Penilaian tersebut malah membuat anak frustrasi karena mereka mengharap orang tua bisa mengerti perasaan mereka, bukan menilai sikap dan perasaan mereka. Selain itu, penilaian subyektif orang tua yang datang terlalu cepat, bisa membuat anak menarik diri untuk tidak lebih lanjut menceritakan perasaan yang sebenarnya, karena orang tua sudah punya anggapan tertentu. Misal, anak itu sebenarnya takut ketika berhadapan dengan teman sekolah yang lebih besar badannya dan suka mengganggunya – namun urung bercerita karena orang tua sudah memberi label pada sang anak sebagai “anak mama-papa pasti pemberani”. Menceritakan perasaan dan kejadian yang sesungguhnya, hanya akan membuat dirinya dimarahi atau malu karena dianggap lemah.

4. Bantu anak mendefinisikan perasaan

Mendengarkan sepenuhnya cerita pengalaman anak, baik itu menyedihkan dan menyenangkan, membuat kita berdua (dengan anak) dapat berbagi rasa dan anak pun akan merasa orang tua menghargainya. Anak akan biasa bersikap terbuka karena yakin orang tua pasti bersedia mendengarkan mereka. Jika anak masih sulit mengidentifikasi perasaan mereka, bantulah dengan mendengarkan cerita mereka sungguh-sungguh, dan melontarkan kesan seperti “Wah..adek sepertinya sedih sekali”..atau “Kamu kelihatan sangat marah”...atau “adek sepertinya sedang bosan?”. Anak akan sangat lega ketika orang tua bisa menangkap perasaan mereka. Interaksi demikian, melatih anak mengidentifikasikan perasaan mereka secara tepat.

5. Bertanya

Hindari sikap memaksakan pendapat, cara, penilaian orang tua; alangkah lebih baik jika orang tua membimbing mereka dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat mereka semakin memahami kejadian yang dialami, teman yang dihadapi, perasaan yang mereka rasakan serta sikap - tindakan yang harus mereka lakukan sebagai pemecahannya.

6. Mendorong semangat anak untuk bercerita

Hanya dengan memberi respon “Ooo....O ya?...Wow!...” sudah menjadi stimulasi bagi mereka untuk makin giat bercerita.Pola ini dapat membuat anak tenang dan nyaman karena merasa orang tua memahami apa yang mereka ungkapkan.

7. Mendorong anak mengambil keputusan yang tepat

Jika orang tua ingin membantu anak menghadapi masalahnya, sebaiknya kita tidak mengambil alih keputusan (“ya sudah, besok kamu tidak usah masuk sekolah”) atau tindakan (“biar mama yang hadapi si boy teman mu yang nakal...biar mama si boy tahu apa yang anaknya lakukan!). Sebaliknya, hadirkan beberapa alternatif yang membuat mereka berpikir dan memilih manakah solusi terbaik sambil membicarakan akibat-akibat yang bisa dirasakan baik oleh anak maupun oleh orang lain.

8. Menunggu redanya emosi anak dan mengajak berpikir positif

Jika anak masih diliputi emosi yang memuncak hingga membuatnya sulit berbicara, orang tua jangan memaksakan anak untuk segera bicara. Kita tidak akan berhasil membuatnya bercerita dan kita pun makin tidak sabar untuk tidak memberikan opini kita padanya. Konflik seringkali terjadi dan ini menyebabkan memburuknya hubungan orang tua anak. Berikan waktu untuk menyendiri sampai intensitas perasaannya mereda. Ketika emosinya mereda, anak akan lebih siap untuk diajak bicara. Sekali lagi, berusahalah untuk tidak memberikan opini kita pribadi, baik terhadap pilihan sikapnya, emosinya, dan tindakannya.Tanyakan pemikiran mereka terhadap masalah ini dan bagaimana kira-kira sikap yang sebaiknya mereka lakukan di kemudian hari. Sikap ini tidak saja menghindarkan anak dari perasaan dihakimi, namun juga membantu mereka lebih memahami kejadian / peristiwa itu secara obyektif serta menemukan nilai atau pelajaran berharga yang dapat dipetik dari kejadian itu.

Apa manfaat dari mendengarkan?

Bagi seorang anak, komunikasi bukan hanya bertujuan untuk membuat orang dewasa atau orang lain mengetahui dan memenuhi kebutuhannya. Dari komunikasi itu lah, anak dapat menarik kesimpulan, bagaimana orang dewasa memandang dirinya; dan dari kesan ini lah seorang anak membangun rasa percaya diri dan sense of self. Anak akan merasa dihargai, merasa percaya diri dan mengembangkan penilaian positif terhadap dirinya, ketika orang tua menaruh perhatian tidak hanya pada ceritanya, tapi juga pada pendapat, keyakinan, kesimpulan, ide-ide, perasaan, bahkan ketika pendapat tersebut tidak sesuai dengan pendapat orang tua. Sikap orang tua yang “mendengarkan” anak, membuat anak berani membuat perbedaan dan menjadi berbeda, tanpa takut dihukum, dilecehkan atau ditertawakan. Hal itulah yang menjadi salah satu landasan keberanian dan keinginan anak, untuk menjadi diri sendiri apa adanya.

Dari tanggapan-tanggapan orang tua, anak akan belajar mengenal banyak informasi dan pengetahuan, mendengar sesuatu yang berbeda dari yang dipikirkannya selama ini, melihat alternatif yang lain, menilai pendapat dan tindakannya sendiri, menilai posisi dirinya di mata orang lain, dan menarik kesimpulan apa yang harus dilakukan olehnya. Proses saling mendengarkan dan didengarkan, mengasah daya kritis dan kreativitas berpikir anak karena ketika antara anak dengan orang tua terdapat jalur 2 arah yang terbuka, maka terbuka pula akses informasi, pengetahuan, perasaan, pemikiran dan pengalaman dari kedua belah pihak. Satu sama lain, saling belajar dan saling memperkaya, saling mengenal dan semakin memahami.

Proses komunikasi antara orang tua dengan anak, sangat membantu anak memahami dirinya sendiri, perasaannya, pikirannya, pendapatnya dan keinginan-keinginannya. Anak dapat mengidentifikasi perasaannya secara tepat sehingga membantunya untuk mengenali perasaan yang sama pada orang lain. Lama kelamaan, semakin anak terlatih dalam mengenali emosi, tumbuh keyakinan dan sense of control terhadap perasaannya sendiri (lebih mudah mengendalikan sesuatu yang telah diketahui). Misal, jika anak sudah tahu bagaimana rasanya marah, sedih, kecewa, takut, kesepian, dsb, maka akan lebih mudah bagi orang tua memberikan alternatif-alternatif cara menghadapi dan menyelesaikannya.

Mendengarkan anak secara sungguh-sungguh, membuat anak percaya pada orangtua. Hubungan mutual trust, ini membuat anak merasa lebih nyaman berada bersama orang tua, lebih memilih ‘curhat dengan orang tua dan siap menjadi “partner” ketika orang tua yang giliran butuh didengarkan.

Evaluasi Diri

Mendengarkan dan didengarkan, adalah kunci hubungan orang tua-anak yang sangat bermanfaat, baik untuk pengembangkan kematangan emosional, kepandaian intelektual, kemampuan membina kehidupan sosial yang baik serta penanaman nilai prinsip moral yang baik pada anak. Dengan mendengar dan didengar, jalur komunikasi 2 arah terbuka lebar antara orang tua – anak, memungkinkan keduanya saling mengerti dan membuat orang tua dapat memberikan dukungan yang diperlukan oleh anak. Namun sebaliknya, jika kata-kata yang diucapkan anak hanya sekedar “terdengar” di telinga kita, akan hilang begitu saja terbawa angin dan tidak memberikan makna serta kontribusi apapun dalam proses pertumbuhan anak. Nah, apakah kita sebagai orang tua, tega mengorbankan kualitas perkembangan dan tingkat kematangan emosional, intelektual, moral, dan kemampuan sosial anak kita demi kesenangan sesaat (film yang menarik, obrolan gossip yang asik, berita yang sedang dibaca, dan lain sebagainya).....Inilah saatnya kita sebagai orang tua merefleksikan dalam kehidupan sehari-hari, apakah kita sudah lebih sering mendengarkan anak....ataukah, cerita mereka hanya terdengar sayup-sayup oleh kita?...

Apakah Anak Saya Bermasalah ?

Kegelisahan Orang Tua

Apakah anak saya bermasalah? Pertanyaan itu sering sekali terdengar diucapkan oleh para orang tua, terutama para Ibu. Umumnya mereka khawatir karena anak-anak mereka dinilai “berbeda” dengan rekan-rekan mereka. Entah dari prestasinya, sikap dan perilakunya, sifatnya, sampai dengan fisiknya. Jeli sekali pengamatan para orang tua, jika sudah menyangkut perbedaan pada anak-anaknya. Selanjutnya, orang tua cenderung berpikir “anak saya membutuhkan terapi” Artikel ini, tidak mengajak pembaca untuk mengenal ciri-ciri anak bermasalah, namun mengajak pembaca untuk memahami, dari mana munculnya keresahan tersebut.

Fakta versus persepsi pribadi

Tidak semua perbedaan yang kita lihat pada anak merupakan hal yang negatif, dan tidak semua juga positif. Orang tua seringkali lupa, bahwa ada faktor-faktor tertentu yang mempengaruhi perbedaan setiap anak.

a. Faktor biologis & genetika (keturunan)

b. Faktor pola asuh

c. Faktor lingkungan

d. Faktor pendidikan

e. Faktor pengalaman (perjalanan dan pengalaman hidup sehari-hari)

Tidak ada satu orang pun di dunia ini yang memiliki kondisi persis sama, bahkan kakak beradik atau anak kembar sekali pun, mengalami kondisi yang berbeda ketika mereka tumbuh dan dibesarkan. Intinya, tak ada satu manusia pun di dunia yang segala sesuatunya sama persis.

Tidak setiap perbedaan berdampak destruktif, negatif atau pun patologis. Tergantung dari kaca mata yang melihatnya :

1. Orientasi fisiologis

Tuhan menciptakan manusia, dengan berbagai variasi dan keunikannya. Semua itu memperindah manusia itu sendiri. Namun, manusia sendiri lah yang seringkali terlalu ikut campur tangan dalam merekayasa dirinya. Misalnya, melakukan operasi plastik supaya wajahnya sama seperti artis penyanyi idolanya. Padahal, perbedaan itu dimaksudkan untuk menandai ke-khas-an setiap manusia. Tuhan sudah memikirkan jauh ke depan, agar manusia tidak membutuhkan kode, nomer urut atau pun abjad untuk membedakan diri mereka satu dengan yang lainnya. Manusia bukan produk pabrikan. Jadi, tidak heran jika anak punya tampang dan penampang yang berbeda-beda, hasil sintesa antara orang tua plus, karya seni & rancangan rencana Tuhan – serta dipengaruhi proses tumbuh kembang.

Kelainan fisik – orang bilang “cacat”, sesungguhnya tidak dapat dikatakan sebagai sebuah kekurangan sang manusia itu. Sebab, kepenuhan dan kesempurnaan manusia, tidak bisa hanya dilihat dari kesempurnaan fisik, melainkan dari totalitas sebagai manusia – lahir dan batin. Tiadanya satu unsur di dalam fisiknya, menandakan adanya elemen lain yang menyempurnakan totalitas kemanusiaannya. Hanya, sayangnya – orang sering berfokus pada kekurangan dan lupa akan elemen lain yang Tuhan sudah “tanamkan” untuk menyempurnakan manusia ciptaan yang dikasihiNya.

Demikian juga dengan perbedaan fisik anak-anak. Banyak kombinasi unsur yang mempengaruhi perbedaan itu, baik unsur keturunan, gizi maupun faktor “latihan” fisik selama tumbuh kembang anak. Jika orang tua menginginkan anaknya sama persis dengan anak lain yang dianggap “ideal”, maka segala sesuatunya (kondisi fisik dan psikologis calon orang tua, termasuk nenek kakek yang melahirkan orang tua, sifat dan karakter, ciri fisiologis, kondisi rumah tangga, makanan dan gizi, dsb) harus sama persis jauh sebelum masa konsepsi. Apakah mungkin ?

Kita para orang tua yang sering kali terlalu panik ketika melihat kecepatan perkembangan anak kita berbeda dari yang lain. Bahkan, sangat cemas ketika melihat perbedaan fisik anak (anak kita lebih kurus atau lebih pendek dari temannya) dan lupa – bahwa perbedaan itu juga disebabkan oleh perbedaan kita, para orang tua. Orang tua sering mudah menyalahkan anak dan menganggap anaknya “tidak pandai”, malas, terlambat, terbelakang, lembek, lemah, jelek, dsb – dan akhirnya mendorong / menuntut anak untuk cepat-cepat menyaingi – minimal menjadi seperti ukuran ideal orang tua. Memang, dampak positifnya, bisa jadi ada perbaikan gizi dan perbaikan kegiatan untuk pengembangan fisik. Tapi, negatifnya, orang tua terlalu melihat pada hasil akhir dan lupa – luput melihat keajaiban kecil yang terjadi setiap saat di masa perkembangan anak, sesuai dengan proses kematangan (fisik-fisiologis) anak mereka sendiri. Orang tua jadi tidak menghargai upaya anak, dan tidak menghargai campur tangan Tuhan yang membantu tumbuh kembang anak karena orang tua terlampau ngotot dan fokus pada hasil.

2. Orientasi psikologis

Manusia senang sekali menilai dan membandingkan segala sesuatu, sepertinya tidak pernah menemukan titik temu antara kepuasan, keinginan ideal dengan kenyataan. Masalahnya, jika yang dinilai dan dibicarakan adalah “manusia” dan manusia itu adalah “anak”, persoalan sering jadi rumit. Anak adalah ibarat sebuah diamond – berlian, yang terdiri dari ratusan – bisa lebih – irisan, sudut, facets. Setiap sinar yang masuk, akan menghasilkan dimensi warna tersendiri. Dan, tidak ada diamond yang secara alami, memiliki irisan yang sama persis.

Pribadi, identitas dan diri seorang anak, akan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor di atas (pola asuh, dsb) dan faktor di atas juga sangat bervariasi dan berbeda derajatnya satu sama lainnya. Contoh : pola asuh orang tua, mempengaruhi sifat, karakter kepribadian anak. Pola asuh orang tua, pada dasarnya merupakan sintesa – hasil dinamika dua pribadi (ayah dan ibu) dalam mengasuh, mendidik dan menghadapi anak. Jika hendak diperdalam lagi, pribadi ayah yang menghasilkan pola sikap tertentu terhadap anak – juga hasil dari pola asuh orang tua sang ayah.

Jadi, ketika ada orang tua mempertanyakan : “kenapa ya kok sifat anak saya seperti itu?” sebenarnya, yang pertama kali harus dilakukan, adalah bercermin pada diri sendiri dan kilas balik ke belakang – bagaimana ayah dan ibu kita (dan kepribadian mereka) mempengaruhi pembentukan kepribadian kita para orang tua sehingga seringkali tanpa sadar kita lah yang mengarahkan anak untuk mengembangkan sifat-karakter-kebiasaan-perilaku dan segala sesuatu – seperti diri kita, bahkan, sedapat mungkin lebih sempurna dari diri kita. Kita lupa, bahwa anak – punya jalur, jalan hidup, panggilan hidup dan pribadi dan identitas nya sendiri, misi hidup yang berbeda dari orang tua, yang di-desain khusus sebelum dirinya menjelajah dunia. Orang tua, tanpa sadar menjadikan anaknya extended version.

Masalahnya kemudian, ketika anak tidak berkembang sesuai dengan “buku panduan”, orang tua lantas buru-buru mendiagnosa bahwa anaknya punya masalah, kelainan atau pun kelemahan yang harus segera di atasi dengan cara di - treatment. Padahal, orang tua sekali lagi lupa, bahwa mereka menggunakan acuan persepsi diri subyektif – plus ambisi pribadi, dalam menilai, mengukur perkembangan kejiwaan dan pribadi anak. Yang kasihan, ketika anak mengalami masalah, misalnya masalah emosional (resah, jadi pendiam, atau pemarah, mudah menangis, sulit mengendalikan emosi, dsb) – orang tua hanya melihatnya secara parsial, bahwa “anak saya bermasalah” dan “anak saya membutuhkan treatment”. Orang tua seringkali lupa, bahwa anak – dan reaksinya, antara lain merupakan hasil sintesa dari 2 kepribadian, pola sikap dan karakter orang tua yang berbeda, termasuk dan tersangkut pula di dalamnya masalah kejiwaan sang orang tua. Jadi, jika anak kita terlihat memiliki masalah emosional, jangan tergesa-gesa untuk mendapatkan instant treatment buat anak. Karena, ibarat sehelai daun menguning, maka bukan daun itu sendiri yang menyebabkannya, melainkan kesatuan sistem pohon turut serta dalam proses “penguningan”. Artinya, periksa dulu diri kita masing-masing, dan kemudian periksa hubungan kita dengan pasangan dan dengan anak. Segala sesuatu berawal dari situ, khususnya untuk masalah emosional – non medis / physiologis (misal, kelainan otak).

Pak – Bu, sebelum kita menganggap anak kita bermasalah, lebih baik kita evaluasi beberapa hal terlebih dahulu :

a. Apa yang sedang terjadi di dalam keluarga

Apakah ada perubahan dalam keluarga sehingga merubah tatanan, kebiasaan atau pun stabilitas keluarga.

b. Apakah yang sedang dialami anak di sekolah

Apakah ada masalah, tantangan atau kesulitan yang dihadapi anak di sekolah

c. Bagaimakah pola komunikasi di rumah, antara orang tua dan antara anak dengan orang tua?

Pola komunikasi akan turut mempengaruhi kondisi kejiwaan anak, secara langsung dan tak langsung. Anak yang terbiasa mengekspresikan diri apa adanya, memiliki freedom to be and to fail environment, akan lebih rileks dalam menghadapi kesulitan karena dia bisa membicarakannya pada orang tua, tanpa dibayangi rasa takut, malu atau pun merasa bersalah karena dirinya tak mampu memenuhi harapan orang tua

d. Bagaimakah sifat kita masing-masing sebagai orang tua?

Dan bagaimana pola pemecahan masalah yang biasa kita lakukan ?

Bercerminlah pada diri sendiri. Apakah ada kesamaan ciri, pola, elemen antara orang tua dengan anak – karena anak tanpa sadar juga belajar dari dan meniru orang tua

e. Apakah yang ingin diungkapkan anak melalui permasalahannya?

Setiap masalah yang terjadi, mengajarkan kita sebuah nilai kehidupan. Kalau kita hanya terfokus pada dampaknya (seringkali dampaknya pada diri kita – para orang tua, yakni : rasa malu kalau anaknya “ketinggalan”, “bermasalah” dsb), kita jadi luput mengambil pelajaran dan “pesan” yang harusnya kita dapatkan dari masalah yang sedang menimpa anak maupun diri kita. Misalnya, anak resah, gelisah, sulit konsentrasi, mudah marah dan menangis, sulit kerja sama dengan temannya di kelas – alih-alih melihat apa yang ingin diungkapkannya melalui “unspoken language”, orang tua sering buru-buru mencari orang yang bisa “menyembuhkan” atau “mengembalikan” anak mereka ke kondisi “normal”. Tapi, ketika orang tua juga diminta untuk terlibat secara aktif, bahkan ikut “di-therapy”, kontan saja mereka menolak karena merasa “tidak bermasalah” dan hanya “anak saya yang bermasalah”.

Jika demikian, orang tua akan sulit memahami permasalahan yang sesungguhnya, bahkan mungkin sekali – tidak ingin tahu permasalahan yang sesungguhnya, jika mereka lah yang harus “dikutak katik”, harus self-healing. Siap-siap saja untuk menghadapi masalah demi masalah yang kurang lebih serupa dengan intensitas yang semakin tinggi – hanya karena tidak menangkap “pesan” kehidupan yang harus dipahami supaya memperoleh kehidupan yang lebih berkualitas dan anak-anak yang lebih sehat jasmani dan rohani.

Mengelola Liburan Anak

Setiap musim liburan tiba, kita sering melihat respon yang berbeda antara anak dengan orang tua. Anak-anak dengan gembira dan semangatnya menyambut liburan mereka, sedangkan orang tua malah pusing dan bingung karena mereka harus memikirkan aktivitas apa saja yang dapat mengisi liburan, sehingga kegiatan anak tetap terarah dan berkualitas. Kepusingan orang tua sering dialami oleh para orang tua yang bekerja, karena mereka tidak bisa sewaktu-waktu mengambil cuti dari kantor. Tuntutan pekerjaan membuat mereka tidak mudah meninggalkan tanggung jawab setengah jalan untuk urusan “liburan”. Idealnya, antara orang tua dan anak, ada perencanaan yang baik dalam menentukan waktu “liburan bersama keluarga” sehingga tidak perlu ada yang mengorbankan kepentingan atau tanggung jawab. Namun, sudah tentu waktu libur anak yang relatif panjang sekali jika dibandingkan dengan libur orang kerja, tidak akan pernah “match” dengan orang tuanya. Bagaimana mengelola kegiatan terutama pada waktu orang tua tidak bisa extending waktu libur mereka bersama anak?

Liburan Murah Meriah

Bisa dimengerti, bahwa dalam kesibukan para orang tua, dari pagi hingga malam, bekerja penuh waktu, segenap energi, pikiran dan ide-ide kita sering buntu – tidak lagi bisa memikirkan hal-hal lain selain dari pekerjaan hari ini dan pekerjaan esok hari yang sudah in-advance dipikirkan malam sebelumnya. Dalam keadaan seperti itu, kita para orang tua sering lupa, bahwa kita pun dulu pernah kecil, pernah melewati masa kanak-kanak yang amat sangat jauh berbeda dengan masa kanak-kanak anak-anak kita sekarang ini. Dulu, kita tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang amat sangat jauh lebih sederhana, tanpa kekurangan “media” bermain dan fasilitas permainan. Ada saja ruang dan bahan-bahan yang bisa kita jadikan permainan tanpa harus membayar mahal-mahal dan tanpa harus mengeluarkan biaya transportasi yang mahal. Halaman belakang rumah, halaman tetangga, kebun nenek kakek atau pun, parit kecil di depan rumah – sering dipakai bermain, terutama di kala hujan.

Tidak bisa dipungkiri, jaman sudah berubah, tuntutan kian mengejar dan usia semakin menua, membuat kita para orang tua lupa bagaimana kita dulu mengelola liburan kita, tanpa harus selalu mengikutsertakan orang tua. Artikel kali ini, bertujuan untuk sekedar mengingatkan dan memberi alternatif – bagaimana cara mengisi liburan anak, tanpa harus bepergian jauh, apalagi dengan mengeluarkan biaya yang besar. Sebab, tidak semua keluarga mampu memiliki biaya atau budget yang memungkinkan untuk “liburan”...Kita bisa membuat liburan tetap menjadi moment istimewa, meskipun dengan biaya ringan atau pun bahkan tanpa biaya. Bagaimana menyiasatinya?

1. Liburan ilmiah

Liburan ilmiah yang dimaksud di sini, adalah liburan sambil menimba ilmu. Bagaimana caranya supaya tidak bosan dan “menyebalkan”? Kita bisa membawa anak-anak berjalan-jalan ke musium yang ada di dekat tempat tinggal kita, entah musium zoologi yang ada di kota Bogor, Kebun Raya Bogor, musium geologi di Bandung, BOSCHA (tempat teropong bintang) di Lembang atau pun yang ada di seputar Taman Ismail Marzuki. Di Jakarta ada musium ABRI (Satria Mandala), di Yogyakarta ada musium sekaligus monumen perjuangan Yogya Kembali. Dan, masih banyak musium yang tersebar di seluruh Indonesia. Dengan membawa mereka ke musium, mereka belajar banyak tentang sejarah masa lalu, entah sejarah kehidupan manusia, kehidupan tumbuhan dan hewan, serta alam semesta. Biaya masuk ke musium relatif sangat murah ketimbang “shopping” di Mall.

Mengisi liburan ilmiah, tidak hanya dengan pergi ke musium; pergi ke pasar pun bisa menjadi ajang liburan ilmiah. Kalau kita tidak di”ganggu” oleh kekhawatiran kita yang sering kelewat batas kalau membawa anak ke pasar (takut becek, takut kotor, takut lelah, takut sakit, dsb) yang sesungguhnya sering ditunggangi oleh ke-egoisan kita (tidak mau repot bawa anak ke pasar). Di pasar, banyak sekali komoditas yang dijual dan ditampilkan dalam “etalase” terbuka. Ada bawang merah, cabe, sayur mayur, bumbu dapur, alat memasak, dsb. Pasar adalah pusat informasi yang menyimpan “data base” amat besar. Ribuan variable yang dapat kita temukan di pasar dan masing-masing “variabel” dapat kita jelaskan pada anak. Misalnya, kita tunjukkan pada anak, yang manakah bawang merah dan manakah bawang putih, bagaimana mereka tumbuh, mengapa kita perlu bawang merah, mengapa kita perlu bawang putih, apa kegunaan dan manfaatnya, dsb. Atau, mana kah yang namanya ikan mujair dengan ikan tongkol, cumi-cumi dan kepiting (dalam wujud yang utuh, bukan lagi dalam bentuk transformasi yang sudah tersaji di meja makan). Kalau informasi itu dikumpulkan, maka tidak cukup 12 ensiklopedi untuk menjelaskan semuanya. Kita bisa menjelaskan segala sesuatu secara panjang lebar di rumah, setelah kita menunjukkan pada anak benda-bendanya. Dan, pasti lebih menyenangkan jika anak melihat secara langsung “tumpukan” komiditas di pasar. Bagi anak-anak yang perkembangan intelektualnya masih membutuhkan benda-benda kongkrit untuk menunjang pengertian mereka, “study tour” adalah moment yang penting.

2. Liburan kreatif & innovatif

Kita bisa mengarahkan dan membangkitkan kreativitas anak dengan menstimulasi imajinasi mereka. Pada dasarnya, anak-anak itu sangat kreatif dan heavy-loaded by energy. Kita (atau pengasuh, atau siapapun yang bisa kita percaya) bisa bawa mereka ke tempat art & craft center atau pun science club untuk anak-anak, dengan biaya relatif murah. Di sana, mereka akan disajikan banyak sekali hal-hal yang belum mereka ketahui, percobaan-percobaan ilmiah atau pun teknik-teknik seni yang akan menghasilkan karya yang membuat mereka bangga akan diri sendiri. Memang, ktia tidak selamanya bisa membawa mereka ke tempat-tempat tersebut. Kita pun bisa menciptakan liburan kreatif dan innovatif di rumah. Kalau kita tidak punya ide sama sekali tentang apa dan bagaiamana, kita bisa membeli buku yang menjabarkan tentang berbagai percobaan menarik yang dapat dilakukan sendiri di rumah. Mulai dari percobaan unsur (yang sederhana saja, misalnya minyak dengan air), percobaan warna (memadukan warna) sampai dengan mencoba membuat sesuatu / constructing things – dari benda-benda yang ada di rumah, misalnya: kardus, karton tebal, tripleks bekas, koran bekas, akuarium bekas, stoples beling kosong, dsb yang bisa digunakan menjadi media atau pun alat eksperimentasi atau konstruksi. Nah, di sinilah peran ayah sangat penting untuk menemani dan men-supervisi anak laki-laki. Dan, peran ibu untuk mau “menyulap” benda-benda yang ada di rumah, menjadi bahan baku yang potensial untuk menciptakan sesuatu.

Di masa liburan ini pula, anak-anak bisa kita perkenalkan dengan kegiatan “baru”, misalnya : belajar memasak (membuat kue, dsb), belajar menjahit, menyulam, menari (kalau yang ini, mungkin harus kursus / jadi anggota sanggar), menukang, atau bertanam (tidak mesti harus punya halaman luas, karena bisa dengan menggunakan polybag (kantong khusus untuk menanam bibit) atau pot kecil. Jangan cemaskan hal-hal yang insignifikan, misalnya “bagaimana kalau anakku capek, bagaimana kalau rumah kotor, bagaimana kalau kaki kena tanah, bagaimana kalau bajunya basah, bagaimana kalau halaman jadi becek” dsb... Kalau kita mau jujur, bukankah semua kekhawatiran itu disebabkan karena kita tidak mau repot-repot atau capek-capek membereskan “perabotan” atau pun membersihkan kotoran?

Nah, sebenarnya kita bisa sekalian mengajarkan pada anak kita, bagaimana mengerjakan segala sesuatu dengan rapi. Kita pun bisa sekalian mengajarkan pada anak kita “tanggung jawab”, artinya, kalau sudah selesai mengerjakan, kita pun harus membereskannya kembali. Hati-hati, kekuatiran kita para orang tua, bisa menghalangi anak “mengenyam, mempelajari dan menginternalisasi” nilai-nilai luhur budi pekerti, seperti : tanggung jawab, kreativitas, konsekuensi (sebab akibat), kebanggaan yang positif pada diri sendiri (atas dasar kemampuan diri yang riil – bukan numpang kekuatan dan kejayaan orang tua), ketekunan, persistensi, konsentrasi, koordinasi (baik koordinasi tangan, pikiran dan perasaan – dengan koordinasi dengan pihak lain) serta satu hal yang nilainya tidak kalah tinggi, yakni: membentuk tangga identitas diri. Setiap aktivitas, merupakan sebuah ekspresi diri sekaligus konfirmasi akan kemampuan dirinya. Kalau anak merasa “mampu” dan berhasil mengatasi tantangan yang satu, maka dalam dirinya tertanam rasa percaya diri untuk melakukan eksplorasi demi eksplorasi ke bidang-bidang lainnya.

3. Liburan empatik & sosial

Ada lagi jenis kegiatan yang relatif murah untuk mengisi liburan anak dengan nilai yang tinggi. Kita bisa membawa anak-anak, pergi ke panti asuhan untuk melihat teman-teman mereka yang hidup di panti asuhan. Dengan begitu, anak-anak akan melihat bahwa di dalam hidup ini, ada banyak hal yang belum mereka ketahui, bahwa ada banyak anak-anak yang menjalani hidup sangat berbeda dari anak-anak kita – dan ternyata, banyak juga yang meskipun hidup susah, tapi tetap bahagia, tahu bersyukur, tidak cerewet, tidak mengeluh dan bahkan punya semangat belajar dan semangat juang yang tinggi.

Selain ke panti asuhan, kita juga bisa ajak anak-anak ke panti jompo. Di sana, kita bisa membuka pengertian anak dan menanamkan nilai moral, bahwa setiap orang akan menjadi tua, dan meskipun tua, mereka tetap membutuhkan perhatian dan kasih sayang, terutama setelah apa yang mereka berikan pada anak-anak selama ini. Kesempatan ini, dapat bermanfaat untuk menanamkan kebijaksanaan pada anak, akan pentingnya “orangtua” untuk anak-anaknya. Sebenarnya, dengan mengajak anak kita ke dua tempat: panti asuhan dan panti jompo, kita sekaligus menyampaikan sebuah fakta : bahwa setiap orang di dalam hidup ini saling membutuhkan dan saling memberikan. Tiadanya perhatian dan cinta, dapat membuat hidup menjadi sulit dan tidak bahagia; tapi, perhatian hanya dalam bentuk hadiah, barang, dan bentuk-bentuk materi lainnya – ternyata tidak dapat membuat orang benar-benar bahagia.

4. Liburan petualangan

Liburan petualangan, biasanya diasosiasikan dengan biaya yang mahal dan perjalanan yang jauh. Sebenarnya tidak harus demikian, karena di setiap tempat, disetiap kota, pasti punya sisi terpencil yang amat menarik untuk dijadikan ajang petualangan. Coba jika Anda ingat ketika masih kecil dahulu, bukankah mengejar layangan putus sambil menelusuri sungai kecil – sudah menjadi pengalaman yang luar biasa? Mungkin, saat ini sungai kecil itu sudah tidak ada lagi – tidaklah masalah. Kita bisa mengajak anak-anak, pergi berjalan-jalan ke perkebunan teh, ke kebun raya, ke kebun binatang, ke gua, ke sawah, ke pemancingan (di daerah cibinong, ada sebuah pemancingan besar untuk umum, sekaligus tempat camping dan planting), ke gunung, ke mata air panas, ke air terjun atau ke peternakan (di daerah lingkar jakarta selatan, ada semacam istal kuda yang terbuka untuk umum).

Sebenarnya, semua tempat itu accessible dan possible, selama kita para orang tua, willing to go out of the box, get out from the bed and comfort zone, dan doing extra effort to have advanture. Kendalanya, sesungguhnya lebih terletak pada diri kita sebagai orang tua. Kita memang sering terbentur waktu, dan kesempatan – tapi, kalau kita ingin jujur, sesungguhnya yang menghambat seringkali, adalah diri kita yang sepertinya “sudah terlalu lelah untuk melakukan apapun kecuali tidur atau sekedar jalan-jalan ke mall”. Padahal, kalau kita mau mencoba keluar dari lingkaran kehidupan dan kegiatan yang membuat energi kita terperangkap di dalam lingkaran itu, maka kita para orang tua yang sudah pada kelelahan, kita bisa men-charge kembali battery energy yang sudah low. Asalkan, selama bepergian, kita tidak membawa serta semua idealisme dan konsep-konsep “berlibur yang ideal, anak yang baik, orang tua yang sempurna, dsb” yang hanya akan membebani mental kita sendiri. Biarkan semua orang bisa mengekspresikan minat, emosi dan ide-idenya – justru karena ada media yang tepat untuk menyalurkannya.

O ya, suasana petualangan, tidak harus artinya kita pergi jauh dari rumah. Jika kita, atau salah satu famili memiliki rumah dengan halaman yang cukup luas, maka kita bisa mendirikan tenda di halaman itu, dan membiarkan anak-anak “camping” di tenda. Tentu moment ini menjadi moment yang mengasikkan, apalagi jika anak-anak kita bergabung dengan para sepupunya.

5. Liburan super-aktif

Mengingat anak-anak adalah pribadi yang paling aktif, maka kita pun bisa mengarahkan dan menyalurkan energinya, pada kegiatan yang mengasikan. Jikalau pergi ke pantai untuk berenang dan main pasir atau mengumpulkan kerang – terlalu sulit untuk dilakukan, atau terlalu jauh untuk dijalani, maka kita bisa mengajak anak-anak pergi ke lapangan bola terdekat, untuk “bertanding sepak bola”, atau pergi ke kolam renang terdekat, untuk adu renang; atau, membantu ayah men-cat tembok rumah, mencuci mobil, menjadi “asisten” ketika ayah membetulkan mobil atau motor, bersepeda di dalam kompleks, atau, bermain layangan! Coba kita ingat-ingat, betapa menyenangkannya “hanya” dengan main layang-layang atau main sepeda. Problemnya bagi kita para orang tua : maukah kita meluangkan waktu untuk anak kita? Maukah kita mengatasi dan mengalahkan ke-engganan diri (mungkin kita lebih senang nonton TV dan sinetron di rumah ketimbang panas-panasan di bawah terik matahari, atau berkutat pada komputer di ruang kerja karena pikiran tidak bisa lepas dari pekerjaan) ?

Nah, dari semua alternatif di atas, tampaknya tidak terlalu sulit untuk direalisasikan. Namun, apapun kegiatan yang akan dihadapi dan dijalani, kendalanya biasanya ada di kita, para orang tua : maukah kita keluar dari comfort zone – mengusahakan dan melakukan sesuatu “diluar kebiasaan”. Selain itu, ada pula tantangan untuk kita para orang tua, yang datangnya justru dari anak-anak kita sendiri. Seringkali, pola hidup dan kebiasaan “keluarga” selama ini, yang di dominasi oleh kegiatan shopping ke mall, nonton TV, main computer game, atau chatting on line, membuat anak-anak enggan untuk pergi ke tempat-tempat di luar shopping mall atau pun untuk melakukan kegiatan yang sifatnya produktif. Mereka cenderung lebih senang nonton TV, main computer game, atau kalau mau liburan – ya benar-benar harus pergi ke suatu tempat yang jauh, misalnya ke Bali atau ke tempat lain yang mewah. Sebab – tidak selalu finansial keluarga, men-support keinginan anak – bahkan keinginan kita sendiri untuk menikmati “liburan” yang menyenangkan. Tanpa harus mengeluarkan dana yang besar, kita selayaknya dapat mencari dan menemukan kebahagiaan dari kegiatan yang sederhana, namun tidak kalah nilainya. Bagaimana pun juga, kebahagiaan itu tidak diukur dari besar kecilnya uang yang kita miliki, bukan ?

Fobia Sekolah

Aku nggak mau sekolah....pokoknya enggaaaaak !!! hari ini aku mau ikut Mama ke kantor aja..!

Perutku sakit, Maaaa....aku nggak enak badan...jadi hari ini aku boleh nggak usah masuk sekolah, yaaaa..!

Adek mau main di rumah saja, Ma....please.....Adek takut sama Bu Guru...soalnya Bu Guru galak sekali, Adek takut dimarahi sama Bu Guru.....boleh ya Ma....boleh ya.....

Pokoknya aku nggak mau ke sekolah...aku nggak suka sekolah....aku mau di rumah ajaaaa !!

Kalimat-kalimat diatas mungkin tidak asing di telinga kita ketika menghadapi anak yang tiba-tiba mogok sekolah. Beberapa alasan tersebut memang seringkali dikemukakan oleh anak-anak ketika mereka tidak ingin pergi ke sekolah. Tidak jarang orangtua hanya bisa terdiam dan termenung bahkan bingung ketika mendengar kata-kata tersebut diucapkan oleh anak tercintanya.

Banyak orangtua yang bingung menghadapi perubahan sikap anaknya yang tiba-tiba mogok tidak mau sekolah dengan berbagai alasan, mulai dari sakit perut, sakit kepala, sakit kaki dan seribu alasan lainnya. Bagi orangtua yang anaknya masih kecil, pemogokkan ini tentu bikin pusing karena menimbulkan kebingungan apakah alasan tersebut benar atau hanya dibuat-buat. Orangtua menjadi bingung: memaksa anak untuk tetap berangkat sekolah takut nanti anaknya menjadi stress; atau kalau ternyata benar apa yang dikemukakan anak, lantas bagaimana harus bersikap? Sementara itu problem yang hampir sama dialami orangtua yang bingung menghadapi penolakan anaknya yang sudah waktunya bersekolah tapi masih saja belum mau masuk sekolah.

Menghadapi kenyataan dan kondisi di atas, apa yang sebaiknya dilakukan orangtua agar kendali pendidikan dan pengasuhan anak tetap berada di pundak mereka sehingga tidak terjadi hal-hal negatif yang dapat merugikan perkembangan fisik dan mental anak di masa yang akan datang. Dalam artikel ini saya mencoba untuk mengulas apa yang dimaksud dengan fobia sekolah (mogok atau tidak mau ke sekolah), apa faktor penyebabnya dan bagaimana orangtua harus menyiasati kondisi ini.

Apakah Fobia Sekolah?

Fobia sekolah adalah bentuk kecemasan yang tinggi terhadap sekolah yang biasanya disertai dengan berbagai keluhan yang tidak pernah muncul atau pun hilang ketika “masa keberangkatan” sudah lewat, atau hari Minggu / libur. Fobia sekolah dapat sewaktu-waktu dialami oleh setiap anak hingga usianya 14-15 tahun, saat dirinya mulai bersekolah di sekolah baru atau menghadapi lingkungan baru atau pun ketika ia menghadapai suatu pengalaman yang tidak menyenangkan di sekolahnya.

Tingkatan dan Jenis Penolakan Terhadap Sekolah

Para ahli menunjuk adanya beberapa tingkatan school refusal, mulai dari yang ringan hingga yang berat (fobia), yaitu :

1.

Initial school refusal behavior

adalah sikap menolak sekolah yang berlangsung dalam waktu yang sangat singkat (seketika/tiba-tiba) yang berakhir dengan sendirinya tanpa perlu penanganan.

2.

Substantial school refusal behavior

adalah sikap penolakan yang berlangsung selama minimal 2 minggu.

3.

Acute school refusal behavior

adalah sikap penolakan yang bisa berlangsung 2 minggu hingga 1 tahun, dan selama itu anak mengalami masalah setiap kali hendak berangkat sekolah

4.

Chronic school refusal behavior

adalah sikap penolakan yang berlangsung lebih dari setahun, bahkan selama anak tersebut bersekolah di tempat itu.

Tanda-tanda Fobia Sekolah

Ada beberapa tanda yang dapat dijadikan sebagai kriteria fobia sekolah atau pun school refusal, yaitu:

· Menolak untuk berangkat ke sekolah.

· Mau datang ke sekolah, tetapi tidak lama kemudian minta pulang

· Pergi ke sekolah dengan menangis, menempel terus dengan mama/papa atau pengasuhnya, atau menunjukkan “tantrum”-nya seperti menjerit-jerit di kelas, agresif terhadap anak lainnya (memukul, menggigit, dsb) atau pun menunjukkan sikap-sikap melawan/menentang gurunya.

· Menunjukkan ekspresi/raut wajah sedemikian rupa untuk meminta belas kasih guru agar diijinkan pulang – dan ini berlangsung selama periode tertentu.

· Tidak masuk sekolah selama beberapa hari.

· Keluhan fisik yang sering dijadikan alasan seperti sakit perut, sakit kepala, pusing, mual, muntah-muntah, diare, gatal-gatal, gemetaran, keringatan, atau keluhan lainnya. Anak berharap dengan mengemukakan alasan sakit, maka ia diperbolehkan tinggal di rumah.

· Mengemukakan keluhan lain (di luar keluhan fisik) dengan tujuan tidak usah berangkat ke sekolah.

Waktu Berlangsungnya Fobia Sekolah

Berapa lama waktu berlangsungnya fobia sekolah amat tergantung pada penanganan yang dilakukan oleh orangtua. Makin lama anak dibiarkan tidak masuk sekolah (tidak mendapat penanganan apapun), makin lama problem itu akan selesai dan makin sering / intens keluhan yang dilontarkan anak. Namun, makin cepat ditangani, problem biasanya akan berangsur-angsur pulih dalam waktu sekitar 1 atau 2 minggu.

Faktor Penyebab

Ada beberapa penyebab yang membuat anak seringkali menjadi mogok sekolah. orangtua perlu bersikap hati-hati dan bijaksana dalam menyikapi sikap pemogokan itu, agar dapat memberikan penanganan yang benar-benar tepat. Alangkah baiknya, jika orangtua mau bersikap terbuka dalam mempelajari dan mencari semua kemungkinan yang bisa terjadi. Konsultasi dengan guru di sekolah, sharing dengan sesama orangtua murid, diskusi dengan anak, konsultasi dengan konselor/psikolog, (kalau perlu) memeriksakan anak ke paramedis/dokter sesuai keluhan yang dikemukakannya, hingga introspeksi diri – adalah metode yang tepat untuk mendapatkan gambaran penyebab dari fobia sekolah anak. Berhati-hatilah untuk membuat diagnosa secara subyektif, didasarkan pada pendapat pribadi diri sendiri atau keluhan anak semata. Di bawah ini ada beberapa penyebab fobia sekolah dan school refusal :

1.

Separation Anxiety

Separation anxiety pada umumnya dialami anak-anak kecil usia balita (18 – 24 bulan). Kecemasan itu sebenarnya adalah fenomena yang normal. Anak yang lebih besar pun (preschooler, TK hingga awal SD) tidak luput dari separation anxiety. Bagi mereka, sekolah berarti pergi dari rumah untuk jangka waktu yang cukup lama. Mereka tidak hanya akan merasa rindu terhadap orangtua, rumah, atau pun mainannya – tapi mereka pun cemas menghadapi tantangan, pengalaman baru dan tekanan-tekanan yang dijumpai di luar rumah.

Separation anxiety bisa saja dialami anak-anak yang berasal dari keluarga harmonis, hangat dan akrab yang amat dekat hubungannya dengan orangtua – singkat kata, tidak ada masalah dengan orangtua. Orangtua mereka adalah orangtua yang baik dan peduli pada anak, dan mempunyai kelekatan yang baik. Namun tetap saja anak cemas pada saat sekolah tiba. Tanpa orangtua pahami, anak-anak sering mencemaskan orangtuanya. Mereka takut kalau-kalau orangtua mereka diculik, atau diserang monster atau mengalami kecelakaan sementara mereka tidak berada di dekat orangtua. Ketakutan itu tidak dibuat-buat, namun merupakan fenomena yang biasa hinggap pada anak-anak usia batita dan balita. Oleh sebab itu, mereka tidak ingin berpisah dari orangtua dan malah lengket-nempel terus pada mama-papanya. Peningkatan kecemasan menimbulkan rasa tidak nyaman pada tubuh mereka, dan ini lah yang sering dikeluhkan (perut sakit, mual, pusing, dsb). Sejalan dengan perkembangan kognisi anak, ketakutan dan kecemasan yang bersifat irrasional itu akan memudar dengan sendirinya karena anak mulai bisa berpikir logis dan realistis.

Separation anxiety bisa muncul kala anak selesai menjalani masa liburan panjang atau pun mengalami sakit serius hingga tidak bisa masuk sekolah dalam jangka waktu yang panjang. Selama di rumah atau liburan, kuantitas kedekatan dan interaksi antara orangtua dengan anak tentu saja lebih tinggi dari pada ketika masa sekolah. Situasi demikian, sudah tentu membuat anak nyaman dan aman. Pada waktu sekolah tiba, anak harus menghadapi ketidakpastian yang menimbulkan rasa cemas dan takut. Namun, dengan berjalannya waktu, anak yang memiliki rasa percaya diri, dapat perlahan-lahan beradaptasi dengan situasi sekolah.

Peneliti berpendapat, anak yang mempunyai rasa percaya diri yang rendah, berpotensi menjadi anak yang anxiety prone-children (anak yang memiliki kecenderungan mudah cemas) dan cenderung mudah mengalami depresi. Banyak orangtua yang tidak sadar bahwa sikap dan pola asuh yang diterapkan pada anak ikut menyumbang terbentuknya dependency (ketergantungan), rasa kurang percaya diri dan kekhawatiran yang berlebihan. Contohnya, sikap orangtua yang overprotective terhadap anak hingga tidak menumbuhkan rasa percaya diri keberanian dan kemandirian. Anak tidak pernah diperbolehkan, dibiarkan atau didorong untuk berani mandiri. Orangtua takut kalau-kalau anaknya kelelahan, terluka, jatuh, tersesat, sakit, dan berbagai alasan lainnya. Anak selalu berada dalam proteksi, pelayanan dan pengawalan melekat dari orangtua. Akibatnya, anak akan tumbuh menjadi anak manja, selalu tergantung pada pelayanan dan bantuan orangtua, penakut, cengeng, dan tidak mampu memecahkan persoalannya sendiri. Banyak orangtua yang tanpa sadar membuat pola ketergantungan ini berlangsung terus-menerus agar mereka merasa selalu dibutuhkan (berarti, berguna) dan sekaligus menjadikan anak sebagai teman “abadi”. Padahal, dibalik ketergantungan sang anak terhadap orangtua, tersimpan kebutuhan dan ketergantungan orangtua pada “pengakuan” sang anak. Akibatnya, keduanya tidak dapat memisahkan diri saat anak harus mandiri dan sulit bertumbuh menjadi individu yang dewasa.

2.

Pengalaman Negatif di Sekolah atau Lingkungan

Mungkin saja anak menolak ke sekolah karena dirinya kesal, takut dan malu setelah mendapat cemoohan, ejekan atau pun di”ganggu” teman-temannya di sekolah. Atau anak merasa malu karena tidak cantik, tidak kaya, gendut, kurus, hitam, atau takut gagal dan mendapat nilai buruk di sekolah. Di samping itu, persepsi terhadap keberadaan guru yang galak, pilih kasih, atau “seram” membuat anak jadi takut dan cemas menghadapi guru dan mata pelajarannya. Atau, ada hal lain yang membuatnya cemas, seperti mobil jemputan yang tidak nyaman karena ngebut, perjalanan yang panjang dan melelahkan, takut pergi sendiri ke sekolah, takut sekolah setelah mendengar cerita seram di sekolah, takut menyeberang jalan, takut bertemu seseorang yang “menyeramkan” di perjalanan, takut diperas oleh kawanan anak nakal, atau takut melewati jalan yang sepi. Para ahli mengatakan, bahwa masalah-masalah tersebut sudah dapat menimbulkan stress dan kecemasan yang membuat anak menjadi moody, tegang, resah, dan mulai merengek tidak mau sekolah, ketika mulai mendekati waktu keberangkatan.

Masalahnya, tidak semua anak bisa menceritakan ketakutannya itu karena mereka sendiri terkadang masih sulit memahami, mengekspresikan dan memformulasikan perasaannya. Belum lagi jika mereka takut dimarahi orangtua karena dianggap alasannya itu mengada-ada dan tidak masuk akal. Dengan sibuknya orangtua, sementara anak-anak lebih banyak diurus oleh baby sitter atau mbak, makin membuat anak sulit menyalurkan perasaannya; dan akhirnya yang tampak adalah mogok sekolah, agresif, pemurung, kehilangan nafsu makan, keluhan-keluhan fisik, dan tanda-tanda lain seperti yang telah disebutkan di atas

3.

Problem Dalam Keluarga

Penolakan terhadap sekolah bisa disebabkan oleh problem yang sedang dialami oleh orangtua atau pun keluarga secara keseluruhan. Misalnya, anak sering mendengar atau bahkan melihat pertengkaran yang terjadi antara papa-mamanya, tentu menimbulkan tekanan emosional yang mengganggu konsentrasi belajar. Anak merasa ikut bertanggung jawab atas kesedihan yang dialami orangtuanya, dan ingin melindungi, entah mamanya – atau papanya. Sakitnya salah seorang anggota keluarga, entah orangtua atau kakak/adik, juga dapat membuat anak enggan pergi ke sekolah. Anak takut jika terjadi sesuatu dengan keluarganya yang sakit ketika ia tidak ada di rumah.

Penanganan

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan orangtua dalam menangani masalah fobia sekolah atau pun school refusal.

1.

Tetap menekankan pentingnya bersekolah

Para ahli pendidikan dan psikolog berpendapat bahwa terapi terbaik untuk anak yang mengalami fobia sekolah adalah dengan mengharuskannya tetap bersekolah setiap hari (the best therapy for school phobia is to be in school every day). Karena rasa takut harus diatasi dengan cara menghadapinya secara langsung. Menurut para ahli tersebut, keharusan untuk mau tidak mau setiap hari masuk sekolah, malah menjadi obat yang paling cepat mengatasi masalah fobia sekolah, karena lambat laun keluhannya akan makin berkurang hari demi hari. Makin lama dia “diijinkan” tidak masuk sekolah, akan makin sulit mengembalikannya lagi ke sekolah, dan bahkan keluhannya akan makin intens dan meningkat. Selain itu, dengan mengijinkannya absen dari sekolah, anak akan makin ketinggalan pelajaran, serta makin sulit menyesuaikan diri dengan teman-temannya.

Kemungkinan besar anak akan coba-coba bernegosiasi dengan orangtua, untuk menguji ketegasan dan konsistensi orangtua. Jika ternyata pada suatu hari orangtua akhirnya “luluh”, maka keesokkan harinya anak akan mengulang pola yang sama. Tetaplah bersikap hangat, penuh pengertian, namun tegas dan bijaksana sambil menenangkan anak bahwa semua akan lebih baik setibanya dia di sekolah.

2.

Berusahalah untuk tegas dan konsisten dalam bereaksi terhadap keluhan, rengekan, tantrum atau pun rajukan anak yang tidak mau sekolah.

Entah karena pusing mendengar suara anak atau karena amat mengkhawatirkan kesehatan anak, orangtua seringkali meluluskan permintaan anak. Tindakan ini tentu tidak sepenuhnya benar. Jika ketika bangun pagi anak segar bugar dan bisa berlari-lari keliling rumah atau pun sarapan pagi dengan baik, namun pada saat mau berangkat sekolah, tiba-tiba mogok – maka sebaiknya orangtua tidak melayani sikap “negosiasi” anak dan langsung mengantarnya ke sekolah. Satu hal penting untuk diingat adalah hindari sikap menjanjikan hadiah jika anak mau berangkat ke sekolah, karena hal ini akan menjadi pola kebiasaan yang tidak baik (hanya mau sekolah jika diberi hadiah). Anak tidak akan mempunyai kesadaran sendiri kenapa dirinya harus sekolah dan terbiasa memanipulasi orangtua/lingkungannya. Anak jadi tahu bagaimana taktik atau strategi yang jitu dalam mengupayakan agar keinginannya terlaksana.

Jika sampai terlambat, anak tetap harus berangkat ke sekolah – kalau perlu ditemani/ diantar orangtua. Demikian juga jika sesampai di sekolah anak minta pulang, maka orangtua harus tegas dan bekerja sama dengan pihak guru untuk menenangkan anak agar akhirnya anak merasa nyaman kembali. Jika anak menjerit, menangis, ngamuk, marah-marah atau bertingkah laku aneh-aneh lainnya, orangtua hendaknya sabar. Ajaklah anak ke tempat yang tenang dan bicaralah baik-baik hingga kecemasan dan ketakutannya berkurang/hilang; dan sesudah itu bawalah anak kembali ke kelasnya. Situasi ini dialami secara berbeda antara satu orang dengan yang lain, tergantung dari kemampuan orangtua menenangkan dan mendekatkan diri pada anak. Namun jika orangtua mengalami kesulitan dalam menghadapi sikap anaknya, mintalah bantuan pada guru atau sesama orangtua murid lainnya yang dikenal cukup dekat oleh anak. Terkadang, keberadaan mereka justru membuat anak lebih bisa mengendalikan diri.

3.

Konsultasikan masalah kesehatan anak pada dokter

Jika orangtua tidak yakin akan kesehatan anak, bawalah segera ke dokter untuk mendapatkan kepastian tentang ada/tidaknya problem kesehatan anak. orangtua tentu lebih peka terhadap keadaan anaknya setiap hari; perubahan sekecil apapun biasanya akan mudah dideteksi orangtua. Jadi, ketika anak mengeluhkan sesuatu pada tubuhnya (pusing, mual, dsb), orangtua dapat membawanya ke dokter yang buka praktek di pagi hari agar setelah itu anak tetap dapat kembali ke sekolah. Selain itu, dokter pun dapat membantu orangtua memberikan diagnosa, apakah keluhan anak merupakan pertanda dari adanya stress terhadap sekolah, atau kah karena penyakit lainnya yang perlu ditangani secara seksama

4.

Bekerjasama dengan guru kelas atau asisten lain di sekolah

Pada umumnya para guru sudah biasa menangani masalah fobia sekolah atau pun school refusal (terutama guru-guru preschool hingga TK). Hampir setiap musim sekolah tiba, ada saja murid yang mogok sekolah atau menangis terus tidak mau ditinggal orangtuanya atau bahkan minta pulang. Orangtua bisa minta bantuan pihak guru atau pun school assistant untuk menenangkan anak dengan cara-cara seperti membawanya ke perpustakaan, mengajak anak beristirahat sejenak di tempat yang tenang, atau pada anak yang lebih besar, guru dapat mendiskusikan masalah yang sedang memberati anak. Guru yang bijaksana, tentu bersedia memberikan perhatian ekstra terhadap anak yang mogok untuk mengembalikan kestabilan emosi sambil membantu anak mengatasi persoalan yang dihadapi – yang membuatnya cemas, gelisah dan takut. Selain itu, berdiskusi dengan guru untuk meneliti faktor penyebab di sekolah (misalnya diejek teman, dipukul, dsb) adalah langkah yang bermanfaat dalam upaya memahami situasi yang biasa dihadapi anak setiap hari.

5.

Luangkan waktu untuk berdiskusi/berbicara dengan anak

Luangkan waktu yang intensif dan tidak tergesa-gesa untuk dapat mendiskusikan apa yang membuat anak takut, cemas atau enggan pergi ke sekolah. Hindarkan sikap mendesak atau bahkan tidak mempercayai kata-kata anak. Cara ini hanya akan membuat anak makin tertutup pada orangtua hingga masalahnya tidak bisa terbuka dan tuntas. Orangtua perlu menyatakan kesediaan untuk mendampingi dan membantu anak mengatasi kecemasannya terhadap sesuatu, termasuk jika masalah bersumber dari dalam rumah tangga sendiri. Orangtua perlu introspeksi diri dan kalau perlu merubah sikap demi memperbaiki keadaan dalam rumah tangga.

Orangtua pun dapat mengajarkan cara-cara atau strategi yang bisa anak gunakan dalam menghadapi situasi yang menakutkannya. Lebih baik membekali anak dengan strategi pemecahan masalah daripada mendorongnya untuk menghindari problem, karena anak akan makin tergantung pada orangtua, makin tidak percaya diri, makin penakut, dan tidak termotivasi untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.

6.Lepaskan anak secara bertahap

Pengalaman pertama bersekolah tentu mendatangkan kecemasan bagi anak, terlebih karena ia harus berada di lingkungan baru yang masih asing baginya dan tidak dapat ia kendalikan sebagaimana di rumah. Tidak heran banyak anak menangis sampai menjerit-jerit ketika diantar mamanya ke sekolah. Pada kasus seperti ini, orangtua perlu memberikan kesempatan pada anak menyesuaikan diri dengan lingkungan baru-nya. Pada beberapa sekolah, orangtua/pengasuh diperbolehkan berada di dalam kelas hingga 1-2 minggu atau sampai batas waktu yang telah ditentukan pihak sekolah. Lepaskan anak secara bertahap, misalnya pada hari-hari pertama, orangtua berada di dalam kelas dan lama kelamaan bergeser sedikit-demi sedikit di luar kelas namun masih dalam jangkauan penglihatan anak. Jika anak sudah bisa merasa nyaman dengan lingkungan baru dan tampak “happy” dengan teman-temannya – maka sudah waktunya bagi orangtua untuk meninggalkannya di kelas dan sudah waktunya pula bagi orangtua untuk tidak lagi bersikap overprotective, demi menumbuhkan rasa percaya diri pada anak dan kemandirian.

7.Konsultasikan pada psikolog/konselor jika masalah terjadi berlarut-larut

Jika anak tidak dapat mengatasi fobia sekolahnya hingga jangka waktu yang panjang, hal ini menandakan adanya problem psikologis yang perlu ditangani secara proporsional oleh ahlinya. Apalagi, jika fobia sekolah ini sampai mengakibatkan anak ketinggalan pelajaran, prestasinya menurun dan hambatan penyesuaian diri yang serius – maka secepat mungkin persoalan ini segera dituntaskan. Psikolog/konselor akan membantu menemukan pokok persoalan yang mendasari ketakutan, kecemasan anak, sekaligus menemukan elemen lain yang tidak terpikirkan oleh keluarga – namun justru timbul dari dalam keluarga sendiri (misalnya takut dapat nilai jelek karena takut dimarahi oleh papanya). Untuk itulah konselor/psikolog umumnya menghendaki keterlibatan secara aktif dari pihak orangtua dalam menangani masalah yang dihadapi anaknya. Jadi, orangtua pun harus belajar mengenali siapa dirinya dan menilai bagaimana perannya sebagai orangtua melalui masalah-masalah yang timbul dalam diri anak.

Jadi, persoalan mogok sekolah seyogyanya bukanlah masalah yang serius (kecuali ada masalah kesehatan serius). Namun jika dibiarkan berlarut-larut dapat benar-benar menjadi masalah serius. Semoga berguna.